Oleh: Muhadam Labolo
DALAM khazanah politik pemerintahan, istilah keamanan dalam negara memiliki relevansi kuat dengan konsep algemene bestuur, nasional security, serta asas frees bestuur. Konsep pertama berkaitan dengan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas sentral pemerintah melalui poros utamanya, kementrian dalam negeri dan entitas local government dibawahnya.
Secara teoritik, urusan pemerintahan umum (algemene bestuur) yang di emban pemerintah melalui kementrian dalam negara merupakan cerminan dari gagasan negara sentralistik Hobbes (1651). Idenya menekankan pentingnya fungsi negara dalam melindungi keselamatan warga dari serangan luar maupun ancaman sesama. Ide ini sejalan dengan pikiran Locke, Rouseau, Spencer & Laski.
Fungsi klasik itu sejak azali berada di tangan eksekutif (presiden) yang dalam prakteknya dijalankan oleh organ kementrian dalam negara. Diberbagai negara sampai detik ini fungsi itu tetap melekat di kementrian dalam negara. Fungsi keamanan dan ketertiban umum (polisionil) dijalankan secara berjenjang hingga ke level prefektur dan distrik.
Disadari atau tidak, tugas dan fungsi kementrian dalam negara mengalami diferensiasi, desentralisasi, dekonsentrasi, spesialisasi dan departementisasi (Ndraha,1995). Di Indonesia misalnya, fungsi perpolisian, kepemiluan dan pengawasan, desa, perbatasan wilayah, pertanahan, penanganan separatisme, radikalisme dan narkotika mengalami spesialisasi yang sebelumnya menjadi urusan kementrian dalam negeri.
Meski demikian, fungsi pemerintahan modern yang bergerak ke welfare state tidak dengan sendirinya menghilangkan fungsi klasik pemerintahan (machstaat). Fungsi klasik itu justru berkembang dan dikonstitusionalisasikan lewat frasa melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Tentu saja melingkupi proteksi warga dari invasi luar dan ancaman sesamanya.
Secara praktikal ancaman luar menjadi tanggungjawab militer melalui fungsi pertahanan. Disisi lain ancaman sesama warga menjadi urusan kementrian dalam negara melalui fungsi keamanan. Di Indonesia, fungsi keamanan beberapa kali mengalami pergeseran dari departemen dalam negeri (1945), berdiri sendiri sebagai jawatan, bergabung ke departemen pertahanan hingga mengalami diferensiasi menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia (1999).
Sekalipun fungsi keamanan dalam negara telah mengalami spesialisasi seperti kepolisian dan unit-unit tertentu dalam menghadapi kejahatan transnasional, namun tetap saja fungsi ketentraman dan ketertiban merupakan bagian dari keamanan umum yang menjadi tanggungjawab bersama. Tanggungjawab itu merupakan tanggungjawab politik sekalipun secara teknis dilaksanakan oleh kepolisian.
Tanggungjawab politik berada di pundak eksekutif dari jenjang tertinggi (presiden) hingga terendah. Kesepaduan antara tanggungjawab politik (ketentraman) dan tanggungjawab hukum (tertib sosial) merupakan refleksi atas tanggungjawab akhir pemerintahan. Pada tingkat selanjutnya menjadi tanggungjawab kepala daerah guna memastikan penegakan hukum di setiap jenjang pemerintahan (Widjojo, 2019).
Dalam perspektif nasional security, keamanan dalam negeri sebagaimana di atur dalam Undang-Undang No.7/2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) berada di tangan para pemimpin politik pilihan rakyat dari pusat hingga daerah. Dimasa kini, keamanan nasional bukan semata-mata tanggungjawab polisi dan militer, juga tanggungjawab pemerintah lokal dan masyarakat luas dalam konteks ancaman nirmiliter.
Dalam perspektif frees bestuur, asas ini menjadi dasar otoritas bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan sejauh dapat dipertanggungjawabkan secara moral, etika, politik, dan hukum. Pengambilan keputusan yang bebas itu berkaitan dengan fungsi keamanan dalam negara yang bersifat dinamis, yaitu menciptakan ketertiban umum dalam lingkup masyarakat sipil. Sebagai contoh masalah identitas yang rentan dipolitisir dalam pemilu menjadi politik identitas. *
Discussion about this post