Oleh: Muh. Adamsyah Usman
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2020 belum usai, itu ditandai dengan adanya tahapan sengketa hasil sampai dengan bulan maret tahun 2021, tahapan pilkada membuka peluang bagi paslon/calon untuk melakukan upaya hukum untuk mencari keadilan baik yang berkaitan dengan hasil pemilihan yakni menguji SK KPUD tentang penetapan rekapitulasi hasil di Mahkamah Konstitusi (sengketa hasil) maupun tahapan proses yang dianggap terjadi beberapa pelanggaran pun diuji masing-masing jenjang penyelenggara pemilihan (Bawaslu) baik itu laporan dugaan pelanggaran administrasi maupun pidana pemilihan masuk di Bawaslu kabupaten hingga dugaan pelanggaran politik uang secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif masuk di Bawaslu Provinsi untuk menyelesaikan pelanggaran TSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135A juncto Pasal 73 UU Pilkada. Dengan adanya upaya itu, praktis KPUD untuk sementara waktu menunda dulu tahapan rapat pleno penetapan calon terpilih, sambil menunggu selesai sengketa hasil di MK maupun penyelesaian pelanggaran administrasi di Bawaslu.
Menjadi rujukan pada perhelatan pemilu serentak 2019 kemarin terkait sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi, khusunya dengan pokok permohonan (posita) maupun petitum yang dimintakan pemohon untuk diputuskan, selalu dihubungkan dengan pelanggaran politik uang secara TSM dan menjadi salah satu legal isu (isu hukum) dalam persidangan di MK. Walhasil dalam putusan akhirnya MK mendalilkan bahwa pokok permohonan pemohon yang terkait dengan dugaan pelanggaran politik uang secara TSM itu menjadi kewenangan Bawaslu.
Selanjutnya jika merujuk pada norma Pasal 73 UU pilkada menjadi acuan yang sangat relevan bagi para pencari keadilan paslon/calon untuk menguji, apakah terjadi dugaan pelanggaran politik uang secara TSM ataupun tidak.? Pertama, jika kita melihat rujukan Pasal 73 yang menjadi dalil pelapor atau pemohon ada dua sanksi yang bisa diterapkan oleh Lembaga Pengawas untuk memutus (bawaslu Provinsi) sanksi pembatalan/diskualifikasi dan putusan tersebut menjadi acuan KPU Kab untuk melaksanakan putusan dengan mengeluarkan Surat Keputusan pembatalan sebagai bentuk tindaklanjut atas putusan Bawaslu Provinsi, namun calon/paslon yang dirugikan masih mempunyai upaya hukum administrasi untuk menguji Surat Keputusan tersebut di Mahkamah Agung. Kedua, penerapan sanksi politik uang berupa rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu Kab/Kota (sentra Gakkumdu) ke penyidik kepolisian, penuntutan, hingga putusan Pengadilan, namun perlu di cermati dalam pasal 73 UU Pilkada tersebut, dugaan pelanggaran politik uangbelum tentu terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif, secara teks Pasal 73 tersebut tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku bagi paslon bakal calon, namun semangat ketentuan pasal 73 itu adalah semata-mata untuk mengantisipasi atau menghindari terjadinya politik uang dalam semua tahapan kampanye, makanya dalam konstruksi Pasal 73 tersebut penyebutan dalam norma atau subjek hukumnya disebut calon/paslon bukan bakal calon ataupun bakal paslon artinya wilayah beroperasi pasal 73 tersebut baru bisa diterapkan sanksi pelanggaran administrasi Ketika calon/paslon sudah resmi ditetapkan oleh KPUD sebagai peserta pemilihan, maka kuasa waktu pelanggaran itu terjadi selama tahapan kampanye sampai dengan masa tenang hingga pemungutan suara, meskipun potensi-potensi pelanggaran bisa terjadi diawal tahapan pilkada, proses pencalonan, maupun pendaftaran paslon Ketiga, politik uang dari sisi administratif, setidaknya secara regulasi UU Pilkada menempatkan pengaturan secara langsung pencegahan dan sanksi bagi kandidat yang terlibat dalam politik uang secara TSM berupa sanksi diskualifikasi/pembatalan paslon.
Namun dalam penjelasannya di Pasal 135A yang dimaksud dengan “Terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparatur struktural baik apparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif/Bersama-sama, sementara maksud dari “Sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi, sedangkan yang dimaksud dengan”Masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya Sebagian-sebagian, nah definisi TSM tersebut dapat dilihat dalam penjelasan UU Pilkada.
Materi muatan yang terkandung dari frasa Terstruktur dapat dipahami kegiatan suap dalam Pilkada dikategroikan Terstruktur apabila Tindakan suap dilakukan oleh aparat struktural yakni aparat pemerintah dan penyelenggara pemilihan secara Bersama-sama, namun apabila dicermati klausula aparat struktural dalam penjelasan tersebut bermakna aparat pemerintah dan penyelenggara pemilihan yang keberadaanya berada distruktur pemerintahan dengan pola jaringan organisasi berjenjang, dengan adanya rumusan itu maka apabila Tindakan suap dilakukan oleh subjek hukum orang biasa, bahkan timses bukan pejabat pemerintah meski itu dilakukan secara massif dan sistematis maka tidak akan dapat terakumulasi menjadi sebuah Tindakan suap yang TSM.
Maka mengapa pelaku Tindakan suap dalam penjelasan Terstruktur pun membuka pemahaman Tindakan suap TSM harus diuji melalui pendekatan hukum administrasi yakni karena Tindakan suap mensyaratkan pelakunya dari pejabat pemerintah atau penyelenggara pemilihan. Rumusan struktur tersebut menjadi pintu masuk pengujian dengan pendekatan hukum administrasi dalam penyelesaian politik uang dalam rezim pemilu atau pilkada. Pada prinsipnya kehadiran Hukum adminsitrasi sebagai batu uji politik uang TSM karena pada hakikatnya untuk melindungi warga negara, dalam konteks relasi warga dengan pemerintah.
Namun pada faktanya mulai dari awal tahapan pilkada hingga masuk tahapan proses pencalonan, pendaftaran maupun masa kampanye, masa tenang, hingga pemungutan dan penghitungan suara itu rentan dilakukan oleh orang biasa yang bukan merupakan bagian dari tim pemenangan, timses, maupun tim kampanye, selain itu untuk menguji unsur Sistematis dan Masif begitu sulit, sebab indicator tersebut tantangan yang tidak mudah bagi majelis Hakim ajudikasi Bawaslu atau Hakim agung di MA, maka menurut Refly Harun dalam berbagai forum diskusi mengatakan tidak mudah membuktikan pelanggaran politik uang TSM, dan Ketika menjadi ahli dalam pilkada Pilgub Lampung tahun 2018, mengatakan sulit membuktikan poltik uang TSM, lanjut bahwa pembuktian itu harus kualitatif dan kuantitatif ada unsur masifikasi dengan syarat lima puluh persen plus satu persen, lalu tugas sidang untuk membuktikan unsur selanjutnya Sistematis dan Terstruktur, unsur sistematis dan terstruktur harus harus terencana dan ada bukti mengarah kepada pasangan calon, kalau tidak terbukti maka bukan dikatakan pelanggaran TSM, dan majelis harus membuktikan ada sebab dan akibat kemenangan calon ada komponen pelanggaran TSM. Dengan begitu pelanggaran politik uang secara TSM dalam setiap momentum perhelatan pemilu ataupun pilkada dilaksanakan sampai dengan hari ini, sepengetahuan penulis belum pernah dapat dibuktikan. Wallahu Allam Bii Shawab. *
(penulis adalah pegiat pemilu)
Discussion about this post