Oleh: Supriadi Lawani
TULISAN singkat ini saya buat dalam perjalanan dari kecamatan Bualemo kabupaten Banggai Sulawesi Tengah dengan perasaan emosional yang mendalam.
Jalan dari Bualemo ke Luwuk belum sepenuhnya baik meskipun ada proyek perbaikan jalan dari pemerintah provinsi, masih banyak ruas jalan yang berlubang dan berdebu belum lagi dilansir beberapa media pelaksana proyek oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) harus mengembalikan dana miliaran rupiah kepada negara diakibatkan oleh tata kelola proyek perbaikan jalan yang amburadul dan merugikan keuangan negara.
Proyek perbaikan jalan ini diduga dikerjakan oleh pengusaha yang masih kerabat dari salasatu elit politik di kabupaten Banggai.
Dalam perjalanan itu kami mampir disalasatu rumah atau tepatnya disebut pondok milik warga transmigrasi di desa Tikupon dimana penduduk dusun Transmigrasi ini didominasi etnis jawa.
Pondok berdinding papan tua keropos dengan lantai tanah berkamar satu, saya melihat atap rumbia yang sedikit bocor.
Tujuan kami mampir adalah sekedar sirahturahmi dengan pemilik rumah sekedar menanyakan kabar dan situasi kampung.
Dan alangkah terkejutnya kami dengan situasi bapak pemilik rumah, lelaki sekira berusia 64 tahun yang terduduk lemas memandang langit dari balik jendela reyot ditemani istrinya berusia kurang lebih sama.
Laki – laki itu sedang sakit dan dalam kondisi lemas yang terlihat dari wajahnya yang pucat, saya melihat ada segelas air dari cangkir plastik, obat warung penahan sakit berbentuk puyer, kami secara spontan menanyakan penyakitnya dan dia menjawab bahwa ada benjolan di perut bagian bawah yang ternyata sudah kurang lebih setahun dia menderita dengan penyakit ini.
Dari keterangan istrinya ternyata mereka sudah mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah Banggai di Luwuk dan oleh dokter disarankan untuk operasi. Namun ternyata operasi tidak bisa dilakukan karena tidak ada biaya.
“Kami sudah ke rumah sakit dan diminta untuk segera dilakukan operasi namun kami tidak bisa karena tidak punya biaya” demikian dikatakan istrinya yang membuat saya menarik nafas dalam.
Teman saya langsung menimpali dengan bertanya apakah tidak ada BPJS kesehatan dan kenapa harus bayar karena kondisi keluarga seperti bapak itu seharusnya iurannya ditanggung pemerintah daerah.
“Apakah tidak ada BPJS yang ditanggung iurannya oleh pemerintah ? Dengan kondisi bapak seperti ini harusnya tidak perlu bayar iuran BPJS” demikian kata teman saya.
Namun bapak itu hanya diam, istrinya justru yang mengatakan bahwa mereka tidak punya BPJS dan kalau mau operasi harus bayar, pernyataan yang membuat kami berdua tertegun.
Discussion about this post