Oleh: H. Mustar Labolo
ALLAH SWT menjelaskan target utama disyariatkannya puasa di bulan Ramadan dalam surat Al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.”
Ketaqwaan adalah target utama puasa. Sehingga manusia yang berhasil menjalani Ramadan, adalah manusia yang muncul ketaqwaan dalam dirinya saat Ramadan dan setelah Ramadan.
Sederhananya, kalau kita ingin mengukur indikasi keberhasilan Ramadan, maka parameter utamanya adalah taqwa. Bila taqwa muncul, maka Ramadan dianggap berhasil. Bila tidak, maka butuh Ramadan kembali di tahun depan untuk menciptakan takwa kembali.
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. pernah memberikan indikator ketaqwaan yang ada dalam diri seseorang, “Indikator takwa adalah tumbuhnya rasa takut (khauf) kepada Allah Swt, mengamalkan apa yang telah diturunkan Allah Swt, rela dan ikhlas menerima bagian sekalipun sedikit dan menyiapkan diri untuk menjalani alam lain setelah alam dunia.”
Indikasi pertama manusia taqwa, atau manusia yang berhasil menjalani Ramadan dengan baik adalah tumbuhnya rasa takut kepada Allah Swt. Inilah hakekat yang sering disampaikan Rasulullah kepada para sahabatnya untuk memberikan peringatan bahwa rasa takut hanya diberikan kepada Allah Swt. Bukan kepada yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau seandainya kalian mengetahui apa yang telah aku lihat, niscaya kalian akan sering menangis dan sedikit tertawa.”
Rasa takut kepada Allah Swt. membuat seorang manusia selalu merasakan kehadiranNya di setiap waktu. Ia mampu merasakan ada sebuah Dzat yang senantiasa mengevaluasi setiap amalnya. Sehingga tidak ada kata lain kecuali hanya taat kepada Allah Swt.. Bila rasa takut ini terbangun, tidak perlu membuat ribuan perangkat hukum. Tidak perlu lagi mengeluarkan milyaran rupiah untuk dana keamanan dan ketertiban. Karena rasa takut kepada Allah Swt. akan menciptakan orang-orang yang bertindak sesuai dengan hukum yang disebutkan Alquran dan Sunnah.
Rasa takut seperti inilah yang membuat para sahabat di zaman Rasul, ketika diturunkan larangan khamr hanya dengan kata “fajtanibûh” (jauhilah), lorong-lorong kota Madinah menjadi banjir miras yang dibuang karena telah diharamkan. Semua penduduk yang memegang gelas berisi minuman keras, spontan melemparkannya, sambil berkata, “Kami sudah berhenti wahai Tuhan kami, kami sudah berhenti wahai Tuhan kami, kami sudah berhenti wahai Tuhan kami.”
Sementara rasa takut yang tidak muncul dari hati, tidak akan pernah menghentikan kejahatan. Sekalipun telah dibentengi dengan sistem keamanan tercanggih sekalipun. Amerika Serikat contohnya. Larangan mengkonsumsi alkohol berakhir dengan kegagalan. Pemerintah Amerika pernah mengeluarkan UU pelarangan miras tahun 1919. Kampanye anti miras dan iklan di media massa dilakukan secara gencar dengan biaya 65 juta dollar Amerika. Tapi dalam tempo tiga tahun saja, telah terbunuh 200 jiwa, 500.000 orang ditangkap, denda jutaan dollar harus ditanggung. Akhirnya Amerika kembali mencabut UU miras akhir tahun 1933.
Indikasi kedua manusia Ramadan adalah manusia yang senantiasa menjalankan aturan Allah Swt.. Ibadah saat Ramadan dianggap berhasil, sehingga taqwa mampu bersemayam dalam hati, bila Islam menjadi sumber inspirasi dan aksi. Menjadi manusia muslim yang selamat aqidahnya, benar ibadahnya, teguh akhlaknya, kuat fisiknya, memiliki wawasan luas, mampu bekerja dan mencari nafkah, berguna bagi orang lain, rapi dalam semua urusan, memperhatikan waktu, dan mampu melawan hawa nafsu. Sebagai ciri-ciri dasar seorang yang telah berislam. Atau telah menyerahkan diri untuk mengikuti aturan Allah Swt. dan RasulNya.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-An’am ayat 162 sampai 163, “Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya dipersembahkan untuk Allah. Tiada sekutu bagiNya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama menyerahkan diri.”
Margaret Marcus, seorang wanita Amerika beragama Yahudi suatu saat tertarik untuk memeluk agama Islam. Di umurnya 27 tahun, Margaret memutuskan untuk mengucapkan syahadat. Setelah itu, ia terlibat komunikasi intens dengan pemikir Pakistan Abul A’la Al-Maududi dan pemikir Mesir Sayyid Qutb untuk belajar Islam. Ada diskusi dan dialog ilmiah yang terjadi di antara mereka. Margaret kemudian mengganti namanya menjadi Maryam Jameelah setelah berislam.
Discussion about this post