Oleh: Moh. Noval Abd Rauf Dg Parani
PILKADA Banggai 2024 telah menjadi sorotan akibat tindakan Sulianti Murad, kandidat bupati yang dinilai merusak demokrasi demi ambisi kekuasaan.
Setelah kalah di Pilkada 2024, Sulianti menggugat hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di dua kecamatan pada 2025.
Putusan MK ini berdasarkan pelimpahan kewenangan bupati kepada camat yang terbukti melanggar aturan.
Namun, PSU kembali memastikan kekalahannya dengan selisih suara 897, sebagaimana ditetapkan KPU Banggai pada 9 April 2025.
Tidak terima, Sulianti bersama pasangannya, Samsul Bahri Mang, mengajukan gugatan baru ke MK pada 11 April 2025.
Langkah ini memicu kritik keras karena dianggap menodai demokrasi, memperpanjang ketidakpastian, dan membebani masyarakat Banggai.
Tulisan ini mengupas dua poin utama: bagaimana ambisi Sulianti melemahkan kedaulatan rakyat dan bagaimana gugatannya melanggar etika hukum, merugikan daerah demi kepentingan pribadi.
Ambisi yang Melemahkan Kedaulatan Rakyat
Demokrasi menempatkan suara rakyat sebagai penentu utama tetapi Sulianti Murad tampaknya lebih mementingkan ambisi daripada menghormati kehendak masyarakat Banggai.
Kekalahan di Pilkada 2024, yang diikuti dengan PSU pada 2025, menunjukkan bahwa rakyat telah dua kali menyatakan pilihan mereka.
Hasil PSU, sebagaimana diumumkan KPU Banggai, mencatat pasangan nomor urut 1 memperoleh 95.073 suara (43,92%), unggul 897 suara atas Sulianti.
Ini adalah bukti nyata bahwa rakyat Banggai telah memilih, namun Sulianti menolak menerima realitas tersebut.
Dengan mengajukan gugatan baru ke MK, ia seolah memandang suara rakyat tidak sah kecuali menguntungkannya, sebuah sikap yang mencerminkan arogansi politik dan pengabaian terhadap kedaulatan rakyat.
Tindakan ini juga menciptakan dampak buruk bagi Banggai. PSU pada 5 April 2025, yang dilakukan di dua kecamatan berdasarkan putusan MK, telah memakan biaya besar—baik dari anggaran negara maupun tenaga warga yang kembali ke TPS.
Ketidakpastian politik akibat gugatan berulang menghambat pembangunan daerah, karena pemerintahan tidak dapat berjalan efektif di tengah sengketa.
Masyarakat Banggai, yang telah menjalani dua kali pemungutan suara, kini harus menanggung beban konflik yang tidak perlu.
Ambisi Sulianti telah mengorbankan stabilitas dan kesejahteraan publik, menempatkan kepentingan pribadi di atas kebutuhan kolektif daerah.
Lebih parah, sikap Sulianti merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Dengan terus mempersoalkan hasil yang telah divalidasi KPU Banggai, ia meragukan integritas penyelenggara pemilu dan MK.
Ini menciptakan preseden berbahaya, di mana kandidat yang kalah merasa berhak memicu konflik tanpa bukti kuat, hanya karena selisih suara tipis.
Demokrasi Banggai, yang seharusnya menjadi simbol partisipasi rakyat, kini tercoreng oleh seorang kandidat yang tidak menunjukkan sportivitas politik.
Ketidakrelaan Sulianti tidak hanya melemahkan proses demokrasi, tetapi juga berpotensi memecah belah masyarakat yang telah menerima hasil pemilu.
Penyalahgunaan Hukum yang Mengkhianati Etika
Secara hukum, Sulianti memiliki hak untuk menggugat ke MK, sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Namun, gugatan pasca-PSU 2025, yang diajukan tanpa bukti pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), menunjukkan penyalahgunaan hak hukum.
Putusan MK sebelumnya telah memerintahkan PSU untuk memperbaiki pelanggaran administrasi di dua kecamatan, dan KPU Banggai telah melaksanakan dengan transparan, sebagaimana tercatat dalam penetapan hasil pada 9 April 2025.
Dengan menggugat kembali hasil yang telah dikoreksi, Sulianti tampak memanfaatkan celah hukum untuk memperpanjang konflik, sebuah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai abuse of rights.
Ini merusak otoritas MK dan melemahkan prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung.
Tindakan ini juga bertentangan dengan asas luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
PSU telah memastikan proses yang adil, memberikan kesempatan kedua bagi semua kandidat.
Namun, gugatan baru Sulianti menghambat keadilan substantif, karena tidak lagi bertujuan mencari kebenaran, melainkan menunda penetapan pemerintahan yang sah.
Biaya PSU, tenaga masyarakat, dan waktu yang terbuang adalah harga yang harus dibayar Banggai akibat ketidakrelaan seorang kandidat.
Dalam konteks hukum, tindakan ini melanggar etika demokrasi yang menuntut integritas dan penerimaan terhadap hasil pemilu yang sah.
Dampak sosial dari gugatan ini juga tidak bisa diabaikan. Konflik politik yang berkepanjangan berisiko memicu polarisasi di kalangan masyarakat Banggai.
Ketika seorang kandidat terus mempersoalkan hasil, pendukung kandidat lain dapat tersulut emosi, mengganggu harmoni sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan.
Sulianti, sebagai figur publik, seharusnya menjadi teladan dalam menjaga persatuan, bukan memicu perpecahan demi ambisi yang tidak realistis.
Dengan kata lain, ia tidak hanya melanggar etika hukum, tetapi juga tanggung jawab moral sebagai calon pemimpin.
Ambisi Sulianti Murad telah menodai demokrasi Banggai dengan gugatan yang sia-sia dan penyalahgunaan hukum yang merugikan rakyat.
Dengan mengabaikan suara masyarakat dan memperpanjang ketidakpastian, ia telah mengkhianati kepercayaan publik yang mendambakan stabilitas.
Demokrasi adalah tentang menghormati kehendak rakyat, bukan memaksakan kehendak pribadi.
Sudah saatnya Sulianti menghentikan langkah yang merusak dan berkontribusi positif bagi Banggai.
Rakyat berhak atas masa depan yang pasti, dipimpin oleh mereka yang menghargai demokrasi, bukan menghancurkannya. *
Penulis adalah Mahasiswa Asal Kabupaten Banggai Kecamatan Batui yang menempuh pendidikan kuliah di salah satu universitas di Jakarta.
Discussion about this post