ADHIE Djanggih. Begitu sapaannya. Nama lengkap akademisi muda yang satu ini adalah Hardianto Djanggih. Pria yang lahir di desa Padungnyo Kecamatan Nambo Kabupaten Banggai 29 Januari 1983 ini, berpofesi sebagai dosen.
Hardianto Djanggih bukanlah orang berada. Putra dari pasangan Sudin Djanggih dan Atintin A. Rahman berlatar belakang keluarga sederhana. Ayahnya, Sudin Djanggih merupakan pensiunan guru SD yang pernah di masa karirnya menjabat sebagai kepala kekolah.
Hardianto Djanggih menyadari keterbatasan orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai ‘Oemar Bakri’ (penyebutan guru), bukanlah menjadi hambatan untuk menempuh studi. Hal ini dapat dilihat dari perjalanannya menyelesaikan studinya mulai dari S1 Hukum, S2 Hukum dan S3 Hukum.
Di tahun 2008 dia menyelesaikan studi S1 Ilmu Hukum pada Universitas Tompotika (Untika) Luwuk. Itupun dengan biaya sendiri, dari hasil kerja serabutan. Bahkan sampai menjadi buruh bangunan.
Di tahun 2011 Adhie Djanggih kembali menamatkan S2 Hukum pada Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Kali ini dengan biaya beasiswa dari Kementerian Pendidikan Tinggi.
Dan di tahun 2018 gelar Doktor direbutnya, setelah menamatkan S3 Ilmu Hukum pada Universitas Muslim Indonesia (UMI) dengan beasiswa dari Kementerian Pendidikan Tinggi.
Nah, dengan selesainya tiga jenjang pendidikan tinggi tersebut pada penulisan nama sosok akademisi muda ini adalah Dr. Hardianto Djanggih, SH, MH.
KARIR DOSEN
Perjalanan karir Hardianto Djanggih sebagai dosen diawali di tahun 2010 sampai dengan 2019 sebagai dosen tetap pada Universitas Tompotika (Untika) Luwuk.
Selanjutnya di tahun 2020 sampai saat ini sebagai dosen tetap pada Universitas Muslim Indonesia, yang merupakan kampus swasta bergengsi di kawasan Indonesia Timur.
Lewat wawancara ekslusif bersama wartawan Luwuktimes.id, Sabtu (19/12) tadi malam, Adhie Djanggih mengaku selama menjalani profesi sebagai dosen, ada tiga hal yang diembannya. Yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian ekpada masyarakat.
Pada bidang pengajaran tercatat mengajar selain pada kampus Universitas Muslim Indonesia, di juga pernah mengajar pada sejumlah kampus. Diantaranya UIN Makassar, UIT Makassar, STMIK AKBA Makassar dan STIE YPUP Makassar.
Begitu pula pada bidang penelitian, Hardianto Djanggih tercatat memiliki publikasi ilmiah Jurnal diberbagai jurnal ternama (akreditasi) yang menghantar sosok akademisi muda ini sebagai peringkat I dosen hukum se-Indonesia pada web. https://sinta.ristekbrin.go.id.
Tidak kalah menarik sambung dia, pada bidang pengabdian masyarakat. Hardianto Djanggih telah 14 kali memberi keterangan ahli hukum pidana, yakni di PN Wajo 1 kali, PN Makassar 3 kali, PN Palu 1 kali, Polres Banggai 1 kali, Polres Gowa 1 kali, Polda Sulsel 1 kali, Polres Supori Papua 2 Kali, Polres Kutai Kertanegara Kalimantan Timur 1 kali, Bawaslu Kabupaten Mamuju 1 kali dan Bawaslu Kota Makassar 2 kali.
Dengan sejumlah pencapaian yang telah dimiliki sebagai dosen, Hardianto Djanggih pun bertekad akan mengajukan guru besar atau Profesor di umur 40 tahun.
Pencapaian sebagai Profesor ini merupakan keinginan semua dosen, dan tentunya dengan pemenuhan syarat oleh perundang-undangan.
“Insha Allah jika terpenuhi pencapaian sebagai Guru Besar atau Profesor di bidang hukum Pidana, ini akan menadi kado terindah untuk sosok ayah sebagai pensiunan guru SD,” kata Adhie Djanggih. *
(yan)
Discussion about this post