
DALAM hidup terkadang kita harus berhenti. Kembali menyendiri. Merenungi dan mengobservasi hati. Istirahat dari ritme dunia yang terus berjalan tanpa henti. Berteduh dari kehidupan yang tak pasti. Mengatur nafas sejenak, lalu melangkah kembali. Menyambut dunia yang selalu penuh arti. Untuk menyiapkan bekal menuju kehidupan yang abadi.
Ketika sibuk berkendara di jalanan, ada lampu merah yang meminta berhenti sejenak. Mengembalikan posisi netral kendaraan, lalu kembali berjalan. Ketika sibuk bekerja, ada sakit yang meminta berhenti sejenak. Mengistirahatkan gerak fisik, lalu kembali beraktivitas. Ada rambu dalam kehidupan yang mengajak kita untuk merenunginya, sebelum hidup betul-betul berhenti dengan kematian.
Pos-pos penghentian ini selain mengembalikan manusia ke titik nol, juga berfungsi sebagai charger. Karena kehidupan ibarat baterai handphone. Bila tidak di-charge kembali, tidak akan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Lalu lowbatt dan tidak bisa menjalani kehidupan sejati. Sekalipun hayat masih dikandung badan.
Dalam tempo 24 jam misalnya, kita diminta berhenti sejenak untuk me-recharge kemanusiaan dengan salat. Lima kali sehari semalam. Setiap pekan di-charge dengan salat Jumat. Setiap tahun di-charge dengan puasa di bulan Ramadan. Dan di-charge selama hidup minimal satu kali, yaitu melaksanakan haji di Baitullah.
Mengasingkan Diri
Setiap bulan Ramadan, Rasulullah SAW, selalu berhenti sejenak. Mengasingkan diri dari kehidupan dunia. Kembali menyendiri untuk memberikan ruang hanya antara dirinya dan Allah Swt. Rasulullah SAW mengisi kembali baterai ketaatannya dengan iktikaf.
Dalam riwayat Al-Bukhâry, Sahabat Abû Hurairah RA pernah mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah selalu melaksanakan iktikaf setiap bulan Ramadan selama sepuluh hari. Adapun di tahun saat Rasulullah akan meninggal dunia, beliau melaksanakan iktikaf selama dua puluh hari lamanya.”
Berhenti sejenak dan mengasingkan diri dengan iktikaf justru menjadi penyempurna dari seluruh rangkaian ibadah yang kita lakukan selama bulan Ramadan.
Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah yang menegaskan makna ini dalam bukunya Zâd Al-Ma’âd, “Di satu sisi, kemurnian dan keistiqamahan hati manusia dalam berhubungan dengan Allah membutuhkan totalitas.
Melebihi Batas
Sementara di sisi lain, makan dan minum yang berlebihan, bergaul melebihi batas, keasyikan ngobrol, tidur yang kebablasan, membuat hati kita galau. Dan memutus hubungan dengan Allah.
Atau minimal bisa menghambat, melemahkan, dan menghentikan hubungan hati dengan Sang Pemilik Hati. Maka Allah mensyariatkan puasa untuk membersihkan kelebihan makanan dan minuman yang mempengaruhi hubungan tersebut,” kata Ibnu al-Qayyim.
Ibnu al-Qayyim menambahkan, “Allah juga mensyariatkan iktikaf agar hati manusia selalu berotasi dengan Allah. Tidak berhubungan dengan yang lain.
Manusia hanya menjadikan Allah sebagai teman dan bukan makhluk lain. Sebab di alam kubur, manusia hanya mengharapkan Allah sebagai temannya dan bukan manusia”.
“Inilah makna iktikaf yang sebenarnya. Karena makna ini baru bisa sempurna terejawantahkan dengan puasa, maka disunahkanlah iktikaf di hari-hari terbaik puasa. Yaitu di sepertiga terakhir bulan Ramadan,” tegas Ibnu al-Qayyim menutup penjelasannya tentang keutamaan iktikaf.
Bersambung halaman selanjutnya
Discussion about this post