Namun, syukur menempati derajat yang lebih tinggi karena mengandung unsur penerimaan, ridha, dan ketulusan hati yang tak lagi bersyarat.
“Banyak orang berdoa tapi tidak pernah merasa cukup. Banyak orang tampak taat tapi hatinya penuh keluhan. Tapi orang yang bersyukur, hidupnya tenteram. Tidak iri, tidak gelisah, dan selalu merasa cukup,” ungkap Gus Baha. Beliau juga mengutip ayat Al-Qur’an dalam Surah Ibrahim ayat 7:
“La’in syakartum la’azidannakum” – Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.
Ayat ini, kata Gus Baha, adalah jaminan langsung dari Allah, bahwa syukur adalah jalan paling cepat untuk mendapatkan tambahan nikmat, baik duniawi maupun ukhrawi.
Dalam konteks sosial, sikap syukur juga mendorong seseorang untuk lebih dermawan, tidak mengeluh atas keadaan, dan mampu melihat kehidupan dengan cara pandang yang lebih jernih.
Bagi Gus Baha, orang yang bersyukur adalah mereka yang tidak reaktif terhadap ujian, karena mereka yakin bahwa apa yang ditentukan Allah pasti ada hikmahnya.
Pernyataan Gus Baha ini mengajak umat Islam untuk tidak hanya fokus pada permintaan dalam doa atau kekhawatiran dalam menjaga taqwa, tetapi juga menumbuhkan rasa syukur yang tulus dalam setiap keadaan.
Karena bisa jadi, puncak dari spiritualitas bukanlah permintaan yang terus-menerus, melainkan penerimaan yang penuh kesadaran dan keikhlasan.
Testimoni Orang-Orang yang Selalu Menghubungkan Syukur dan Sehat
Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, banyak orang mencari cara untuk tetap sehat, baik secara fisik maupun mental.
Di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan oleh dunia medis dan psikologi, ada satu sikap yang semakin banyak diakui manfaatnya: bersyukur.
Bagi sebagian orang, rasa syukur bukan hanya ekspresi spiritual atau moral, tetapi menjadi kunci utama untuk menjaga kesehatan.
Berikut adalah testimoni dari beberapa orang yang telah merasakan langsung hubungan erat antara syukur dan kesehatan dalam kehidupan mereka:
1. Siti Nurhaliza, 45 tahun, guru SD di Makassar
“Dulu saya mudah sakit kepala, insomnia, dan cepat lelah. Tapi sejak saya mulai rutin menulis jurnal syukur setiap malam — tiga hal yang saya syukuri hari itu — perlahan tubuh saya terasa lebih ringan. Tidur lebih nyenyak, dan saya jarang sakit. Dokter bahkan bilang tekanan darah saya membaik. Ternyata, hati yang tenang memang obat alami terbaik.”
2. Pak Darto, 60 tahun, pensiunan PNS di Yogyakarta
“Waktu saya pensiun, saya sempat merasa hampa dan sering sakit-sakitan. Tapi setelah ikut kelompok pengajian dan pembinaan rohani, saya diajarkan untuk lebih banyak bersyukur atas nikmat kecil. Dari situ, saya jadi lebih semangat hidup. Sakit pinggang dan maag saya pun berkurang drastis. Mungkin karena saya tidak lagi menyimpan beban pikiran.”
3. Maria Angelica, 33 tahun, ibu rumah tangga di Bandung
“Anak saya sempat didiagnosis autis ringan, dan itu membuat saya stres luar biasa. Tapi saat saya mulai fokus pada hal-hal baik yang tetap saya miliki — suami yang suportif, rezeki yang cukup, anak yang tetap penuh kasih — saya jadi lebih kuat dan tabah. Saya bisa mendampingi anak dengan lebih sabar, dan saya sendiri tidak gampang jatuh sakit lagi.”
4. Hendra Saputra, 27 tahun, freelancer digital di Jakarta
“Saya pernah kena burnout parah. Tapi ketika saya mulai praktik meditasi syukur, yaitu menyebut hal-hal yang saya hargai setiap pagi, suasana hati saya membaik. Kesehatan mental pulih, tubuh saya pun ikut bugar. Sekarang saya percaya: rasa syukur itu vitamin jiwa yang berdampak ke seluruh tubuh.”
Syukur sebagai Imunitas Emosional
Berbagai studi ilmiah mendukung apa yang mereka alami. Rasa syukur terbukti menurunkan kadar kortisol (hormon stres), meningkatkan sistem imun, dan menstimulasi hormon bahagia seperti dopamin dan serotonin.
Orang yang bersyukur cenderung lebih sehat secara kardiovaskular, lebih tahan terhadap penyakit, dan memiliki pola tidur yang lebih baik.
Syukur bukan soal menyangkal masalah, melainkan mengubah cara pandang terhadap hidup.
Ia tidak menghapus badai, tapi memperkuat perahu. Dalam dunia yang penuh keluhan, orang-orang yang memilih syukur justru menemukan kekuatan tersembunyi yang menjaga mereka tetap sehat.
Mungkin benar kata bijak lama: “Hati yang gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”
Jadi, masihkah kita menunda untuk bersyukur? *
Discussion about this post