Tapi, entah di mana tempatnya dan siapa orangnya, mungkin kita tidak melihatnya. Sedangkan simbolisasi Dajjal bermata satu itu identik dengan pemikiran manusia dengan perspektif tunggal, ketika banyak orang menghendaki agar setiap manusia berkiblat dalam satu peradaban dunia, sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dikehendakinya.”
“Semacam Ka’bah, begitu?” “Bukan, kalau Ka’bah memang dari wahyu Tuhan, tapi kiblat yang dikehendaki Dajjal lahir dari ambisi dan obsesi manusia sendiri.” “Kenapa mereka tega melakukan perbuatan sekejam ini, Pah?”
“Masalahnya, mereka juga berbuat atas dasar kebanaran.” “Ini pembenaran, bukan kebenaran,” kata istri saya jengkel. “Ya, saya setuju, tapi mereka berbuat atas dasar keyakinan mereka.”
“Omong kosong, saya kira ini cuma nafsu eksplorasi yang tak mau direm oleh mereka. Semacam hawa nafsu yang tak mau mereka kendalikan…”
“Padahal tidak semua yang sanggup terjangkau oleh kecerdasan otak, boleh semua-maunya mereka lakukan,” sambung saya lagi.
“Ya, padahal mereka juga manusia yang dibekali pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.” Ia terdiam sejenak, dan lanjutnya, “Lalu, mengenai jebolnya tembok pembatas, munculnya Ya’juj dan Ma’juj yang berbaur dengan umat manusia?” “Itu juga metafora di dalam Alquran.
Apakah jebolnya tembok dan penyatuan manusia itu identik dengan jebolnya Tembok Berlin dan bersatunya Jerman Barat dan Timur, ataukah Tembok China yang tak ada batasan lagi, ataukah bersatunya Korea Selatan dan Korea Utara?
Ataukah justru bertemunya Israel dan Palestina berikut runtuhnya batas-batas yang memisahkannya.
Saya kira, di seluruh dunia sudah tidak ada batasan lagi antara orang beriman dan kafir, muslim dan musyrik, theis dan atheis, termasuk yang liberal maupun yang religius.
Sekarang, semuanya sudah menyatu dan berbaur di sekeliling kita.” “Lalu, munculnya binatang melata atau dabbah dari perut bumi?”
“Mah,” kata saya mengingatkan, “bukankah virus corona berikut varian-variannya beberapa tahun terakhir, ini adalah fakta yang baru kali ini terjadi dalam sejarah, suatu penyakit bisa mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia di seluruh permukaan bumi ini. Juga negara kita kewalahan menanganinya, bahkan saudara-kerabat, dan keluarga kia pun merasakannya.”
Saya mengelus-elus bahu istri saya yang sedang menatap pintu kamar dengan tatapan yang mencekam, “Apakah kamu takut?” tanya saya kemudian. Ia pun menggeleng,
“Enggak, saya hanya lebih fokus memikirkan anak-anak ketimbang diri saya sendiri. Kalau dulu saya merasa takut dengan kematian, tapi setelah berbaring tujuh minggu di rumah sakit waktu terkena Covid-19 lalu, persepsi saya tentang mati sudah berubah.”
“Tapi, bukan berarti menantang Tuhan, kan?” “Sama sekali tidak.” Kami terdiam dalam suasana khidmat, kemudian kata saya, “Bagaimanapun kita harus siap menghadapi keputusan Tuhan, dalam situasi apapun.”
“Ya,” balas istri saya dengan tatapan menerawang, “melihat kenyataan hidup di sekeliling kita, bahkan di seluruh dunia saat ini, sepertinya cukup logis jika hal ini memang harus terjadi.”
“Tapi hidup kita selama ini baik-baik saja, kan?” “Ya,” jawab istri saya, “tampaknya hidup kita biasa-biasa saja. Dalam hal-hal tertentu justru lebih baik daripada rumah-tangga orang lain.
Kita juga tidak melakukan hal-hal yang berisiko tinggi untuk melanggar peraturan agama, maupun kejahatan kemanusiaan. Sementara, banyak orang, atau rumah-tangga lain yang tergopoh-gopoh ingin mengubah hidup mereka menjadi luar biasa.”
Kedua puteri kami ternyata belum tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam. Di kamar mereka sedang memainkan balok-balok plastik yang disusun hingga meninggi.
Kadang balok-balok itu dibiarkan berdiri tegak dalam susunan yang rapi, sampai kemudian keesokan paginya mereka robohkan kembali untuk dimasukkan ke wadah plastik.
“Kadang saya membayangkan, ketika muncul suara sangkakala yang disusul dengan kerusakan di sana-sini, lalu orang-orang tentu akan berhamburan keluar rumah sambil berteriak-teriak histeris di sepanjang jalan.”
“Saya kira itu cuma imajinasi dalam film saja,” tegur saya, “kalau kehancuran itu terjadi seketika, dan suasananya sedemikian parah, orang-orang sudah tidak sanggup lagi berteriak.
Mereka hanya menerima apa adanya.” Saya duduk tengadah, menarik nafas panjang dan menatap jam dinding yang sudah menunjukkan Pk. 22.15. Istri saya menyingkap hordeng dan melongok keluar jendela yang gelap.
Kedua puteri kami sudah tidur, lalu saya mengecup kening mereka satu persatu. Saya memeluk istri di ruang depan dalam posisi berdiri, kemudian berkata sambil berbisik,
“Kita hadapi saja bersama-sama. Jika memang benar-benar terjadi malam ini, yakinlah bahwa ini adalah hal terbaik yang Allah putuskan.”
“Tapi, apa yang harus kita persiapkan, Pah? Menurut kiai ini kita harus baca ini, menurut ulama itu, kita harus baca itu. Lalu, mana di antara pendapat mereka yang benar, paling tidak mendekati kebenaran, hingga kita sanggup menyelamatkan diri atas pertolongan Tuhan?” kata istri saya semakin tegang.
“Saya kira para ulama maupun pendeta bermaksud baik, mereka hanya berbeda dalam soal menafsirkan wahyu Tuhan. Tapi pilihan yang tepat saat ini, sebaiknya kita percayakan sepenuhnya pada kekuasaan Allah Yang Menggenggam dan Merawat alam raya ini. Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Yakinlah, bahwa sifat Penyayang Allah kepada hamba-Nya akan melebihi sifat-sifat lainnya. Mustahil Dzat Yang Penyayang itu akan berlaku zalim kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya.”
Kami terdiam sejenak, dan sambung saya, “Kalau ada kesepakatan ahli-ahli agama untuk melakukan yang terbaik, tentu malam ini seluruh manusia di dunia akan melakukan hal yang sama. Tapi, memang inilah yang pertama kali dalam sejarah manusia, di mana semua orang sedang melakukan apa yang terbaik menurut keyakinan masing-masing.”
“Saya jadi penasaran, apa yang sedang dilakukan orang-orang malam ini, selama beberapa jam ke depan.”
“Apapun yang dilakukan orang-orang di luar sana, malam ini sebaiknya kita matikan televisi, ponsel, dan semua jenis elektronik yang mengeluarkan suara.” “Oo iya, saya harus tutup rapat air keran dulu.
Sepertinya masih ada suara air yang keluar,” istri saya menuju kamar mandi, lalu muncul lagi sambil bertanya, “Lalu, kenapa harus malam ini, Pah? Kenapa bukan suatu malam di tahun lalu, seabad lalu, atau sepuluh abad lalu?”
“Mungkin karena tidak ada tanggal 19 Januari 2024 di abad-abad sebelumnya. Tapi sekarang, tanggal itu membawa petaka yang sebentar lagi akan menghancurkan dunia dan seisinya.”
“Bagaimana kalau kita salat tahajud bersama di ruangan ini, Pah, sementara kita biarkan anak-anak tidur di kamar?”
“Saya kira itu pilihan yang terbaik,” sambut saya. Kini, waktu sudah menunjukkan pukul 23.24. Istri saya menyisakan sedikit celah dan tidak menutup kamar anak rapat-rapat.
Barangkali, supaya kami bisa mendengar suara mereka jika memanggil-manggil orang tuanya. Saya membayangkan, malam ini, orang-orang di seluruh dunia sedang menghabiskan menit-menit terakhir dalam hidup mereka, dengan caranya masing-masing.
Bahkan, masing-masing tokoh agama pasti menjatuhkan pilihan terbaik sesuai dengan keyakinan mereka yang berbeda-beda.
Apa yang bisa kami lakukan, setelah melaksanakan shalat tahajud adalah duduk berdampingan sambil berpegangan tangan di samping pembaringan kedua puteri kami. Menit demi menit, bahkan detik demi detik sudah hampir mendekati Pk. 24.00. Istri saya semakin erat menggenggam kedua telapak tangan saya.
Ketika detik terakhir mendekati pukul 24.00, tiba-tiba keluar suara dari mulut istri saya,
“Pah, ingatkan saya, ada satu lagi pohon mangga yang siap ditanam di pekarangan rumah kita.” “Kapan pohon mangga itu mau ditanam, Sayang?” “Besok, setelah matahari terbit.” Dan saya pun memeluk istri saya sambil tersenyum. *
Penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
Sumber: https://www.nu.or.id
Discussion about this post