Oleh : Naser Kantu (Redaktur Luwuk Times)
Sejak beroperasi di Kabupaten Banggai, dua Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Hulu Migas yang berada di bawah SKK Migas Kalimantan Sulawesi, JOB Pertamina Medco EP Tomori dan PEP Donggi Matindok Field, terikat dengan berbagai kewajiban kepada daerah, salah satunya adalah Pajak Air Tanah.
Kewajiban itu diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pajak Air Tanah.
Melalui instrumen hukum tersebut, Pemda Banggai diberi wewenang untuk menarik Pajak Air Tanah.
Pajak yang dipungut daerah tujuannya untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang akhirnya bermuara pada kemandirian finansial, pembangunan daerah, dan kesejahteraan rakyat.
Nilai Tunggakan Pajak
Tak tanggung-tanggung, nilai pajak yang belum dibayarkan sejak Tahun 2016 senilai Rp 28 Miliar lebih dari total pemakaian 1,813 juta kubik.
Rinciannya :
- Pertamina EP CPP Donggi, selama Oktober 2016-Desember 2021 sebanyak 520.043,13 M3 air tanah, tagihan Rp 8.038.914.576
- Pertamina EP CPP Matindok selama Oktober 2017-Desember 2021 sebanyak 537.639,61 M3 air tanah, tagihan Rp. 8.510.341.947
- JOB Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi selama Januari 2016-Desember 2021 sebanyak 756.315,77 M3 air tanah, tagihan Rp. 11.961.932.718.
Seyogyanya, ketetapan nilai pajak air tanah yang diterima perusahaan dari Bapenda Banggai, telah di tindak lanjuti oleh perusahaan ditingkat manajemen pusat.
Hanya saja dalam mekanismenya, tagihan tersebut, dibayarkan oleh Kementerian Keuangan melalui BI, kemudian di teruskan ke Rekening Daerah Kabupaten Banggai.
Titik permasalahan pun muncul, Kementerian Keuangan menahan untuk membayarkan.
Mereka berdalih, Permen ESDM Nomor 20 tahun 2017 Tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah, tidak mengatur klasifikasi usaha untuk Hulu Migas.
Penggunaan air tanah di Usaha Hulu Migas juga dikatakan merupakan kebutuhan untuk rumah tangga.
Kementerian Keuangan, sepertinya lupa bahwa diatas PermenESDM, masih ada Undang-Undang yang lebih tinggi untuk dipatuhi.
UU PDRD
Kewajiban pengenaan Pajak Air Tanah, telah di atur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pada Bab I Ketentuan Umum Ayat 10 secara tegas disebutkan bahwa Pajak Daerah bersifat memaksa.
“Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Selanjutnya pada Ayat 11, UU mencantumkan badan yang wajib membayar pajak daerah salah satunya adalah BUMN, dikuatkan pada Pasal 68 ayat 2.
Kita ketahui bersama, JOB Pertamina Medco dan Pertamina EP Donggi Matindok Field merupakan konsorsium dari anak usaha BUMN Pertamina.
“Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.
Pajak Air Tanah secara rinci dijelaskan pada Bagian Keempat Belas Pasal 67
ayat :
- Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
- Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah :
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 68 ayat :
- Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
- Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Pada Ayat 2 huruf a Pasal 67, itulah Kementerian Keuangan salah menafsirkan. Mereka menyamakan kebutuhan dasar rumah tangga di Usaha Hulu Migas dengan kebutuhan dasar rumah tangga pada masyarakat umum.
Sangat jelas, kebutuhan dasar rumah tangga pada Usaha Hulu Migas digunakan untuk kelancaran operasi perusahaan dan peruntukkan bisnis.
Bagaimana bisa, penggunaan jutaan meter kubik air tanah pada kawasan Hulu Migas, dimaknai sebagai pemakaian kebutuhan dasar rumah tangga.
SK Gubernur Sulawesi Tengah
Ini juga tidak selaras dengan izin pemakaian air tanah yang dikeluarkan oleh Pemprov Sulawesi Tengah.
Contohnya SK Gubernur Sulawesi Tengah Tentang Pemakaian Air Tanah pada JOB Medco Pertamina E&P Tahun 2019 yang ditandatangani Gubernur Longki Djanggola,
Masa berlakunya akan berakhir pada Oktober 2022.
Penjelasannya pada Diktum Kesatu, izin diberikan untuk operasional Fasilitas Plant.
Selanjutnya, pada Diktum Ketiga, pemegang izin diwajibkan membayar pajak air tanah sebagaimana Ketentuan UU PDRD.
Diktum Ketujuh, sangat jelas bahwa izin dapat dihentikan sementara, dicabut, dibatalkan atau segala usaha dihentikan, apabila pemegang izin tidak memenuhi ketentuan sebagaimana Diktum Kedua dan Ketiga.
Kementerian Keuangan seharusnya mengabaikan PermenESDM. Walaupun tidak dijelaskan dalam Peraturan Menteri, namun telah dijelaskan dalam Undang-Undang PDRD, sebagaimana azas hukum lex superior derogat legi inferiori, yang berarti hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah.
Lagi pula tidaklah adil, jika hanya usaha hilir migas seperti DS. LNG dan PT. PAU beserta ratusan usaha lainnya di Kabupaten Banggai yang taat membayar pajak air tanah.
Namun, perlakuan khusus diberikan kepada Hulu Migas, ada kaidah undang-undang yang direduksi.
Berangkat dari catatan diatas, sudah saatnya Pemerintah Provinsi dalam hal ini Gubernur Sulawesi Tengah Rusdi Mastura mengevaluasi pemberian izin penggunaan air tanah pada JOB Medco Pertamina dan Pertamina EP Donggi Matindok Field.
Selama 6 tahun terakhir, izin tersebut leluasa diberikan, namun tidak memberikan timbal balik yang baik.
Kalangan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah asal Dapil Banggai, Bangkep, dan Balut juga perlu mendorong Pemprov untuk mengevalusi izin penggunaan air tanah di dua perusahaan Migas tersebut.
Pemprov Sulteng bersama-sama Pemda Banggai perlu menegaskan semangat otonomi daerahnya untuk dihormati Pemerintah Pusat. *
Discussion about this post