Di tengah iklim birokrasi yang sering terjebak pada angka dan laporan formal, pendekatan seperti itu adalah nafas segar.
Dan mungkin, juga secercah hrapan bahwa perubahan bisa dimulai dari cara berpikir, dari budaya, dan dari kepemimpinan yang hadir secara nyata di tengah masyarakat.
Fenomena Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa kemiskinan harus dilihat secara holistic, sebagai produk dari ketimpangan sistemik sekaligus keterbelakangan budaya.
Upaya pengentasan kemiskinan perlu menata struktur, namun juga menggugah kultur.
Dalam konteks ini, pendekatan Dedi Mulyadi bukan hanya pragmatis, tetapi juga filosofis.
Ia mengajak warga untuk tidak sekadar dibantu tetapi juga bangkit.
Pendekatan ini dapat menjadi pelajaran penting bagi Kepala Daerah dan pembuat kebijakan lainnya.
Di tengah birokrasi yang kerap sibuk dengan target angka dan pelaporan formal, membangun narasi dan nilai bersama rakyat adalah langkah yang tak kalah penting dalam upaya mencapai keadilan social yang lebih substansial.
Dedi Mulyadi memadukan pembangunan fisik dan social dengan nilai-nilai budaya sunda.
Ia memperkuat identitas local, melalui pelestarian adat, pakaian tradisional dan arsitektur khas sunda di fasilitas publik.
Strategi ini bukan hanya soal kebudayaan, tetapi juga memperkuat ekonomi local melalui pariwisata berbasis budaya.
Dedi Mulyadi juga menerapkaan program desa mandiri yang mendorong desa mengelola sumber daya sendiri, termasuk melalui BUMDES (Badan usaha milik desa).
Hal ini memberi peluang usaha bagi warga dan meningkatkan pendapatan desa.
Dedi Mulyadi menciptakan model kepemimpinan yang dekat dengan rakyat.
Ia sering turun langsung ke lapangan dan membuka dialog terbuka dengan warga, sehingga kebijakan dibuat berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat.
Dalam masa jabatannya maupun setelahnya, Dedi Mulyadi akan terus aktif di media social untuk menyoroti kemiskinan, ketimpangan, dan kondisi warga yang perlu dibantu.
Aksi nyata yang ditampilkan menjadi alat advokasi publik yang efektif.
Gubernur Konten
Dedi Mulyadi secara aktif memanfaatkan media social untuk meningkatkan popularitasnya.
Sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2025–2030, ia dikenal sebagai Gubernur Konten.
Karena konsistensinya dalam membagikan aktivitasnya melalui berbagai flatform digital seperti Youtube, Instagram dan tiktok.
Pendekatan ini telah berhasil menjangkau jutaan masyarakat dan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Kanal Youtube miliknya “Kang Dedi mulyadi channel” telah meraih lebih dari 7 juta pelanggan dan lebih dari 1,2 miliar penayangan.
Konten-konten yang disajikan seringkali menampilkan interaksi langsung dengan masyarakat kecil, seperti membantu pedagang kaki lima atau mendengarkan keluhan warga desa terpencik.
Gaya komunikasi yang humanis, ini membuatnya tampak sebagai teman rakyat dari pada sekadar pejabat formal.
Strategi digital Dedi Mulyadi juga berdampak signifikan pada efisiensi anggaran Pemerintah Ia mengklaim bahwa dengan memanfaatkan media social, anggaran promosi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat ditekan dari Rp. 50 miliar menjadi hanya Rp3 milir. Namun tetap mencapai efek viral yang sangat luas.
Pendekatan konten ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pengamat menilai bahwa ketergantungan pada media social dapat menimbulkan resiko, seperti persepsi pencitraan tanpa substansi atau kebijakan yang kontroversial namun viral.
Misalnya, usulan vasektomi sebagai sarat bantuan social sempat menuai pro dan kontra meskipun berhasil meningkatkan visibilitasnya di google trends.
Secara keseluruhan, Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa media social dapat menjadi alat yang efekti dalam membangun popularitas dan komunikasi politik.
Namun keberhasilan jangka panjang tetap bergantung pada konsistensi antara citra yang dibangun dan dampak nyata dari kebijakan yang diterapkan. *
Discussion about this post