IKLAN

Kolom Muhadam

Guru dan Kemajuan Jepang

437
×

Guru dan Kemajuan Jepang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhadam Labolo

JEPANG pernah menjajah kita, 3,5 tahun. Walau ringkas, Jepang meninggalkan kita dalam kondisi yang tak lebih baik dari Belanda. Untuk bangkit kita butuh waktu lama. Lebih 78 tahun kita terus membangun, namun hasilnya tak secepat recovery Jepang pasca luluh-lantak oleh bom atom.

Jepang hanya butuh dua kali rencana pembangunan jangka panjang, atau kurang dari 40 tahun untuk menyusun kembali puing-puing Nagasaki dan Hiroshima. Dengan tekad kuat pemimpin dan rakyatnya, kehancuran itu  justru menjadi cambuk untuk bangkit. Modalnya sederhana, ilmu pengetahuan.

Semua orang tau, di tengah retaknya kota, Kaisar Hirohito ke 124 itu tak mencari tentara. Ia mengais guru dari satu tempat ke tempat lain, mengumpulkan, menghitung, dan memberi arahan pendek pada 45.000 guru, bangun semangat anak-anak Jepang dan beri mereka pengetahuan untuk membangun negara itu.

Dengan kepatuhan tinggi, para guru melaksanakan misi pemimpinnya. Tidak siang maupun malam, mereka meletakkan impian tinggi di benak setiap muridnya. Melengkapi semua itu dengan semangat bushido agar akar budayanya tak lepas meski kelak alam pikir mereka dijejali oleh pengetahuan barat.

Baca:  Menanti Negarawan

Pemimpinnya sadar bahwa kekalahan telak dalam perang dunia itu karena Jepang tak punya ilmu sebaik Amerika. Mereka siuman, satu-satunya cara mengejar ketertinggalan dan kebodohan hanya dengan belajar. Dan untuk itu mereka butuh guru, bukan tentara. Tentara kalah menunjukkan rendahnya ilmu pengetahuan yang di produksi guru.

Kaisar menyadari bahwa untuk melawan sekutu hanya perlu senjata baru. Senjata itu adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan itu semua dapat dihasilkan, termasuk senjata canggih. Karenanya, tak ada pilihan lain kecuali mengajarkannya lewat guru. Bila tak ada, temukan gurunya dimana saja, termasuk di kandang musuh, Amerika.

Jepang mengawinkan tradisi dan modernisasi. Tradisi spiritualitas sinto berfungsi sebagai agama yang membentuk karakter sekaligus kearifan lokal. Nilainya dipegang teguh turun-temurun. Disuntikkan ke modernisasi agar menyeimbangkan harmoni dalam pergaulan dunia. Dengan begitu Jepang tak lagi tertinggal, apalagi dipermalukan lewat kecanggihan bom atom.

Baca:  Amicus Curiae & Keadilan Hakim

Kini Jepang merupakan negara dengan teknologi dan sumber ilmu pengetahuan yang menjadi rujukan di Asia Timur. Rujukan yang dihasilkan oleh guru yang tersisa. Tak ada waktu yang disia-siakan. Mobilitas masyarakat Jepang hanya terlambat 7 detik pertahun. Kedisiplinan mereka menghasilkan produktivitas yang terukur. Efesien dan efektif sebagaimana jadwal transportasi publik.

Etikabilitas masyarakat Jepang terpatri dalam laku sehari-hari. Sekali lagi, guru menanamkan itu sejak dini agar selaras dengan pergaulan umum. Sulit menemukan kasus suap pada polisi, hakim, jaksa, hingga aparatur pelayan masyarakat. Urusan publik hanya dapat dipertanggungjawabkan dengan cara mundur dari jabatan, atau sekalian mati (harakiri).

Pengajaran guru menyentuh aspek kebersihan diri dan lingkungan. Realitas menunjukkan betapa sulit menemukan sampah di keramaian Tokyo. Sampah bukan semata beban pemerintah, namun tanggungjawab pribadi dan korporasi. Fakta bahwa kebersihan sebagian dari iman nampak dalam realitas, bukan sekedar pesan agama. Sesuatu yang sederhana namun menjadi kesadaran kolektif.

error: Content is protected !!