Pasca runtuhnya orde baru, utusan golongan berubah kedalam wadah baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Malangnya, mekanisme pemilihan yang identik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadikan representasi birokrasi di parlemen kehilangan basis utamanya, kecuali para petualang yang mempraktekkan Politik Bajing Loncat dari partai politik ke ruang Dewan Perwakilan Daerah. Potret ini menjadikan birokrasi kehilangan kanalisasi sebagai salah satu kekuatan politik yang diperhitungkan.
Artikulasi kepentingan birokrasi pada akhirnya disandarkan semata pada Korps Pegawai Negeri yang mandul sejak awal. Korpri bahkan diformalisasi menjadi bagian dari struktur birokrasi guna merawat sikap mono loyalitas produk orde baru. Kosongnya representasi birokrasi di perlemen secara perlahan melemahkan daya tawar birokrasi. Pada titik ini birokrasi menjadi projek politisi yang di kebiri sewenang-wenang lewat pembatasan hak untuk dipilih sekaligus mundur sebagai ASN saat mendaftar sebagai pejabat publik.
Diskriminasi itu terlihat jelas ketika para politisi tak harus mundur saat mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Politisasi birokrasi pada akhirnya menghambat birokrasi bersikap netral sesuai norma idealnya. Realitas ini terjadi karena mekanisme sistem politik dalam kontestasi pemilu dan pilkada memungkinkan birokrasi terlibat otonom melalui struktur kuasa yang dikendalikan langsung oleh para politisi terpilih.
Jadi, ketidaknetralan birokrasi tercipta oleh sebab liberalisasi politik yang mempertemukan kepentingan birokrat dan politisi di setiap pesta demokrasi. Politisi butuh sumber daya di tangan birokrat, sementara birokrat butuh politisi guna menjamin stabilitas kekuasaaan dalam struktur birokrasi. Simbiosis mutualisme itu menjadikan relasi keduanya harmonis dan competitivness. Sekali lagi, politisasilah sumber ketidaknetralan, bukan birokrasi itu sendiri.
Dewasa ini birokrasi sulit memobilisasi pemenangan para politisi dilapangan. Kepemimpinan formal mulai lurah, camat, kepala OPD, sekda hingga sekjen sekalipun, relatif tak mampu memengaruhi konstituen melampaui kepemimpinan non formal seperti tokoh agama, masyarakat, dan adat yang punya daya tarik populis dan hubungan patron-client. Para tokoh itulah yang secara langsung mampu memengaruhi basis konstituen dilapangan politik praktis.
Satu-satunya nilai strategis birokrasi adalah kemampuannya mengendalikan sumber daya. Jadi, andai pun ASN tak punya hak pilih, tetap saja kemampuan mengendalikan sumber daya itu dapat digunakan sesuai wewenangnya. Dan dengan kapasitas itu, ditambah tekanan para politisi terpilih, tetap saja sikap netralitasnya tak dapat dijamin, bahkan semakin bebas dan profesional. Ada tidaknya hak politik ASN, kontrol birokrasi tetap berada di tangan para politisi.
Namun satu hal yang mesti diingat, bahwa melepas hak politik ASN sama maknanya menghilangkan nilai strategisnya sebagai warga negara istimewa. Mencabut hak politik ASN sama artinya para politisi itu sedang mengembalikan status birokrasi ke kelas sosial terendah, yaitu budak politisi dan napi yang kehilangan hak politik.Tampaknya kesadaran politik ini perlu dibangun, selain merepresentasikan kepentingan birokrasi sebagai kekuataan politik, juga sarana daya tawar yang seimbang. *
Discussion about this post