Pertama, Islam mewajibkan setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah. Laki-laki yang telah balig berkewajiban menanggung nafkah meliputi sandang, pangan, dan papan untuk dirinya sendiri dan keluarganya secara layak (makruf). Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan, baik dengan membuka lapangan pekerjaan baru, memberikan modal usaha, maupun memberikan akses lahan untuk diolah. Dengan begitu, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Kedua, apabila ada rakyat yang tidak mampu bekerja karena alasan syar’i, sudah menjadi kewajiban keluarganya dengan membantu memberikan tempat tinggal, pakaian, hingga makanan.
Ketiga, jika tahap sebelumnya tidak dapat dilaksanakan, hal itu akan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan kebutuhan dasarnya. Tempat tinggal bisa dibangun dari uang negara dengan mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (baitul mal) dari pos zakat.
Apabila pembiayaan dari pos ini tidak mencukupi, maka dapat diambil dari pos-pos baitulmal yang lainnya.
Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik tabaruat (sumbangan sukarela) dari masyarakat atau dharibah (pajak) dari orang kaya.
Namun, sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi. Rumah tersebut pun dapat dijual dengan harga terjangkau, disewakan, bahkan diberikan cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan.
Negara dalam Islam Mengelola harta milik umum. Harta milik umum adalah hak kepemilikan bersama yang ditetapkan oleh hukum syariat.
Harta milik umum dapat berupa barang-barang yang secara sifatnya dibutuhkan secara kolektif, seperti air, barang tambang, dan barang-barang yang secara sifat pembentukannya tidak dapat dimiliki individu, seperti jalan.
Harta milik umum dikelola oleh negara dan diberikan manfaatnya kepada masyarakat.
Misalnya, negara mengelola tambang besi atau tambang galian lain yang menunjang konstruksi perumahan. Negara dapat memberikan kepada masyarakat atau menjualnya tanpa mengambil keuntungan, tetapi hanya mengambil harga untuk biaya pengolahan.
Bahkan, bahan tambang yang sedikit jumlahnya atau dimanfaatkan dalam jumlah sedikit dapat diakses langsung oleh masyarakat. Dengan demikian, biaya konstruksi untuk membangun hunian dapat ditekan sehingga mendapatkan hunian layak yang murah bukan sebuah utopia.
Selain itu, Rasul saw. hanya memberi kekuasaan memiliki tanah kepada individu sebagaimana sabda beliau, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya ia menanami tanah tersebut atau hendaknya ia berikan kepada saudaranya. Jika ia mengabaikan tanahnya, maka hendaknya tanah itu diambil.” (HR Al-Bukhari).
Jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan tidak saja dilihat dari aspek kuantitas, tetapi juga kualitas.
Hunian diharapkan dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman sehingga serangkaian mekanisme praktis diperlukan untuk mengkaji apakah suatu lokasi cocok dibangun kawasan hunian atau tidak.
Berdasarkan perspektif kepemilikan, hunian dalam Islam masuk ke dalam kepemilikan individu. Asy-Syari telah memberikan kebolehan kepemilikan kepada individu tanpa dibatasi.
Di sisi lain, tempat tinggal tidak hanya berupa rumah atau hunian, tetapi juga terdapat lingkungan perumahan.
Lingkungan perumahan mencakup sarana prasarana, seperti jalan, listrik, drainase air, dan ruang terbuka hijau yang masuk dalam kepemilikan umum yang harus disediakan oleh negara dan bebas diakses oleh siapa pun.
Oleh karena itu, permasalahan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hunian seharusnya menjadi perhatian serius bagi kaum muslim untuk mengentaskannya yang hanya bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam secara keseluruhan. *
Discussion about this post