Oleh: Muhadam Labolo
Peran stategis kelas menengah dalam sejarah perubahan suatu bangsa diakui, juga tak diragukan. Mereka menjadi _rulling class_ yang tak sekedar berdiri di depan pintu gerbang menjadi _watch dogs,_ juga terlibat jauh sebagai pelaku sejarah. Di negara-negara yang mengalami transisi dari tekanan imperialisme dan otoritarianisme, tak jarang mereka menjadi tameng dan martir dalam pergumulan mencapai pembebasan.
Tulisan Airlangga Pribadi dalam diskusi literasi berjudul _Vortex Power; Intellectuals and Politics in Indonesia’s Post-Authoritarian Era_ (2020), menarik jika dikaitkan dengan diskusi buku sebelumnya oleh Prof. Ahmed Kuru, seorang dosen Universitas Cambridge USA dengan judul _Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan_ (2019). Menariknya lagi, diskusi akhir minggu ini oleh Cides-ICMI dengan topik _Membangun Demokrasi untuk Kemaslahatan dan Keadilan, Antara Cita dan Realita_ seperti menggugah kontribusi kelas menengah agar lebih jauh berada di kedalaman project demokrasi. Misinya menerjemahkan demokrasi dari _das sollen_ ke _das sein._
Demokrasi pada dasarnya hanya pilihan sistem dengan ragam mekanismenya (Rasyid,1999). Beruntungnya, pilihan sistem kita dalam konstitusi adalah demokrasi, sebagaimana praktek di hampir 3/4 negara di dunia. Mekanismenya bergantung konsensus pemerintah terpilih dan rakyat di parlemen. Hasilnya, _direct election_ setelah lebih 30 tahun mempraktekkan mekanisme _indirect election._ Tentu bukan tanpa catatan untung ruginya. Semua ada resiko ketika pilihan sistem dan mekanismenya kita sepakati. Tugas selanjutnya menyempurnakan pilihan itu hingga ke titik terbaik yang kita inginkan.
Persoalannya, siapakah yang mengawal sekaligus memperbaiki kelemahan mekanisme yang kian mencemaskan itu. Semua diskusi di dunia maya baru sebatas ekspresi kegeraman dan keputus-asaan. Dalam konteks ini, kelompok yang paling dituntut adalah kelas menengah. Kemana mereka, dimana bersembunyi, sejauh apa kontribusinya di tengah ekspektasi yang terus menanjak, yaitu perubahan demokrasi yang lebih substansial, bukan sekedar mengembang-biakkan aspek prosedural dari tingkat sentral ke lokal.
Kritik pedas _vortex power_ menyadarkan kita bahwa peran kaum intelektual dalam sistem politik dan pemerintahan tak lebih sebagai upaya mencarikan pembenaran (justifikasi). Selebihnya mungkin menyakitkan, menikmati kekuasaan dengan sifat _predatory_ tanpa menyadari beban moril yang mesti diemban sebagai agen perubahan. Kondisi ini menjadikan peran kaum intelektual terperosok kedalam kubangan pragmatisme hingga minim kontribusi bagi cita kemaslahatan dan keadilan demokrasi.
Tekanan atas lemahnya peran kaum intelektual dewasa ini setidaknya semakin meyakinkan jika dibandingkan dengan hasil penelitian Ahmed Kuru pada kasus di Afrika Utara dan Timur Tengah. Dengan memaknai istilah ulama sebagai kaum intelektual dalam arti luas, pertautan antara mereka dengan negara rupa-rupanya tak selalu melahirkan perubahan positif. Fakta yang ditunjukkan justru keintiman kaum intelektual dengan negara melahirkan justifikasi yang semakin mengokohkan konstruksi _neo-otoritarianisme._
Dengan posisi itu, kelas menengah diberbagai negara tak sepenuhnya mampu melakukan perubahan signifikan, kecuali mem-bebek, menikmati dan menjadi bagian dari rezim yang bahkan melahirkan gagasan kontra-produktif dengan tujuan demokrasi. Sadar atau tidak, bila kemaslahatan berarti kesejahteraan, dan keadilan dimaknai sebagai perasaan puas atas setiap layanan penguasa, tak bisa dipungkiri kaum intelektual sedang menikmatinya. Hanya segelintir yang benar-benar konsisten sebagai penetral dalam menjernihkan tafsir satu arah.
Meminjam konsep _middle Indonesia_ oleh Van Klinken (2015) yang mencoba melepaskan diri dari perspektif historis Weberian dan Marxian atas munculnya kelas menengah. Kontribusi kelas menengah adalah menjembatani aspirasi kaum metropolis di sentral dengan kaum rural yang terhalang geografis, bertindak selaku mediator antara elit dan alit, serta konsisten membangun _critical thinking_ atas perangkap kapitalisme dan melubernya kesadaran kelas alit. Apakah kaum intelektual masih konsisten kearah itu? Ataukah pengaruh revolusi industri menjadikan mereka korban _disruption_ hingga lebih bersikap realistis dibanding mempertahankan idealitas etiknya? _Wawlahu alamu bissawab. *
(Penulis Adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post