Oleh: Muhadam Labolo
SEBUAH penelitian di Harvard baru-baru ini menemukan bahwa kunci kebahagiaan hidup manusia bukan pada jabatan dan harta. Penelitian yang dimulai sejak 1938 dengan melibatkan 724 peserta dari seluruh dunia itu menyimpulkan bahwa relasi hidup yang baik adalah kunci kebahagiaan. Penelitian yang menghabiskan waktu 85 tahun itu semakin meyakinkan kita tentang esensi agama dan pemerintahan.
Esensi agama sebagaimana Islam mengajarkan pada kita tentang dua hal mendasar, relasi vertikal (hablumminallah) dan relasi horisontal (hablumminnas). Relasi vertikal memupuk hubungan antara manusia dan Tuhannya. Medianya lewat seperangkat gerak ritual. Sedangkan relasi horisontalnya merajut hubungan antar sesama manusia lewat konsep silaturahmi.
Kedua relasi itu menjadi syarat menuju kebahagiaan. Tanpa salah satunya kebahagiaan belum dianggap sempurna. Menikmati relasi vertikal dengan menutup mata atas kepincangan sosial belum cukup. Sebaliknya, menyibukkan diri dalam relasi sosial tanpa tanggungjawab spiritual pun dinilai hampa. Kesunyian spiritual butuh realitas sosial untuk berdialog denganNya. Itu yang ditunjukkan para nabi saat berdialog denganNya.
Realitas sosial itulah yang dikeluh-kesahkan para nabi untuk dimintai petunjuk. Dari situ datanglah firman yang disambung-sabdakan pada realitas sosial. Disisi ini realitas sosial butuh renungan spiritual agar kerja-kerja duniawi dikendalikan olehNya. Memang benar bahwa manusia dapat mengatur dirinya lewat akal sehat. Namun akal yang dikendalikan oleh spirit ketuhanan akan membimbing manusia menuju kebaikan tertinggi, menihilkan ego yang berlebihan.
Dalam perspektif ilmu pemerintahan (kybernologi), kunci kebahagiaan tadi menjadi esensi dasar lewat relasi antara mereka yang memerintah dan yang diperintah. Esensi itu di sebut juga hubungan pemerintahan. Kata Ndraha (2002), semakin terasosiasi keduanya semakin baik. Sebaliknya, semakin terdissosiasi semakin renggang hubungannya. Sederhananya, semakin dekat relasi keduanya semakin tinggi rasa percaya (trust). Maknanya kebahagiaan tumbuh di keduanya.
Seterusnya, semakin jauh jarak antara keduanya, semakin rendah pula rasa kepercayaan tumbuh (distrust). Dalam konteks inilah relasi keduanya mengalami ketidakbahagiaan (unhappiness). Ketidakbahagiaan itu terlihat dari rasa curiga yang berlebihan. Ketakutan yang memerintah atas ekspresi ketidakbahagiaan yang diperintah. Atau kecemasan yang diperintah atas tindakan represif yang memerintah. Inilah pangkal dari ketidakbahagiaan itu.
Sekali lagi, penelitian terhadap kunci kebahagiaan manusia tampak seturut dengan esensi agama, sekaligus pondasi kuat dalam relasi pemerintahan. Bukankah itu yang menjadi cita-cita pemerintahan, hidup wajar dalam kenyamanan (Hamdi, 2004), atau mengulang kembali tujuan klasik pemerintahan sebagaimana kata Van Poeltje (1948), tak lain dan tak bukan kecuali untuk mencapai kebahagiaan jasmani dan rohani. *
Discussion about this post