Dapat kita bayangkan sendiri, bagaimana kegembiraan hati sang ayah yang telah lama mendambakan generasi pengganti dirinya dari sekian tahun lamanya, tiba-tiba harus dijadikan qurban, oleh tangan ayahnya sendiri.
Tentu suatu konflik batin yang bergejolak yang tejadi pada diri Nabi Ibrahim antara kecintaan kepada anak dan ketaatan memenuhi perintah ilahi. Namun, cintanya kepada Allah jauh lebih besar dan lebih di atas daripada cintanaya kepada anak, isteri, harta benda dan materi kedunian lainnya.
Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan, bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapakah Isma’il kita?
Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji oleh Allah.
Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang nabi Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah menghendaki.
Janganlah kecintaan terhadap Isma’il-Isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok nabi Ibrahim yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.
Ada kalanya pengorbanan tenaga, harta, pengorbanan perasaan, dan kesenangan bahkan suatu ketika meningkat pada pengorbanan jiwa. Berkorban jauh lebih baik dan mulia dari pada menjadi korban.
Maka hal ini merupakan pelajaran bagi kita untuk selalu tunduk dan taat kepada Allah dengan totalitas diri kita.
Sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Baqarah (208):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian dalam islam secara kaffah (totalitas), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Al Baqarah 208)
Nabi Ibrahim Tidak Menunggu Waktu
Kepribadian Nabi Ibrahim benar-benar memahami keagungan perintah Allah. Artinya bahwa perintah Allah itu harus segera dilaksanakan. Tidak usah ditawar-tawar dan ditunda-tunda lagi. Seketika ia berserah diri dengan penuh kesabaran.
Sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah (131):
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.
Discussion about this post