Politik rupanya tak peduli soal usia, profesi, gender, bahkan ras. Politik hidup dalam prinsip utamanya, berbagi dalam keseimbangan. Basis nilainya keadilan. Demikian kualitatifnya makna itu hingga ukuran-ukuran keadilan sangat subjektif dan proporsionalistik. Bisa dipahami ketika rasa keadilan atau timbangan proporsionalitas tadi tak mencapai ukuran normatif, maka politik meminjam apa yang di sebut Idris Pattarai (2022) mengalami gerak dinamis dan lekukan behaviour dalam kerangka sistem politik klasik & modern. Mencari dan menemukan konsensus baru.
Kita tak bisa membatasi politik sebagai milik kawula, kaum oldman seperti Amien Rais, kelompok transgender dan feminisme, atau hanya milik para politikus yang tak jelas ada dimana. Sejauh Ia menyentuh, dalam makna kemaslahatan kolektif kata Aristoteles adalah wajar menjadi kesadaran bersama, tidak dibiarkan dan dikelola begitu saja oleh politikus yang hanya bicara soal siapa dapat apa, berapa, kapan, dimana dan bagaimana, sebut Laswell.
Kita sepakat bahwa tanggungjawab politik mesti ada di pundak setiap warga negara. Meski begitu, realitas ruang politik kita justru di dominasi kaum tua di Senayan (96%) dan di elite partai. Kaum muda hanya 4%, bahkan terjebak dalam perang maya antara kampret vs cebong. Kekurang-piawan memainkan peran artikulatif politik menjadikan mereka tak lebih sebagai penonton bagi politisi lansia yang mendominasi dan terasa monoton. Itu-itu saja. Padahal kontribusi milenial dalam pemilu mencapai 35-40% (LIPI, 2020).
Faktor lain kemungkinan semangat berpolitik di usia tua muncul karena sistem bernegara kita cukup kondusif menyebut lansia bila di atas 65 tahun (UU 13/1998). Bahkan, WHO menyatakan lanjut usia jika 60-74 tahun (elderly), di atas 75 tahun di sebut lanjut usia tua (old). Artinya, sejauh kita masih sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, politik bukanlah percakapan haram yang mesti dijauhi karena usia. Setiap kita merespon isu dalam group misalnya, sadar atau tidak kita sedang mengaktifkan neuro-politics kita lewat bingkai dialektika.
Mungkin, satu-satunya kendala kita adalah pengetahuan yang minim soal isu yang ditangkap cepat tanpa tapisan ilmu yang mendalam. Apalagi jauh dari kearifan dan kebijaksanaan. Disitu rasionalitas kritik seringkali diganggu oleh emosionalitas yang meluap. Padahal kritisisme adalah produk filsafat yang langka. Dan untuk soal kematangan mental itu, sama dengan perasaan kita pada soal politik, seringkali tak memedulikan usia, profesi, gender, dan ras. Dia selalu muncul dalam ketidakseimbangan penilaian yang menempatkan kita secara subjektif. *
Dapatkan informasi lainnya di googlenews, KLIK: Luwuk Times
Discussion about this post