Oleh: Muhadam Labolo
DEMOKRASI di ambang kehancuran. Demikian kritik kelompok yang sehari-harinya menggumuli sisi lemah demokrasi. Pesimisme itu di bangun lewat realitas yang tak sepenuhnya mewakili, kecuali kesumat terhadap produk barat atas nama religi. Demokrasi sebagai hasil pikir manusia dinilai tak cukup memadai menyelesaikan perkara manusia ketimbang produk religi yang absolut dan pernah gagal mendahului kelahiran demokrasi itu sendiri.
Semua kejengkelan itu dialamatkan pada demokrasi dengan menuding angka kemiskinan, pengangguran, kebodohan, korupsi, hingga perampokan aset sebagai indikasinya. Padahal semua indikasi semacam itu pun berlaku dan terjadi di negara-negara yang tak sepenuhnya demokratis (flawed democracy), bahkan menjadi pemandangan sehari-hari di negara-negara otoriter dan totaliter.
Membangun demokrasi bukan perkara menyusun bata Candi Prambanan oleh Roro Jonggrang agar selesai semalam. Merakit demokrasi bukan pula menyelesaikan kota dalam semalam oleh Sangkuriang. Demokrasi butuh kesabaran bertahun-tahun agar sampai ke penghujung citanya, kesejahteraan. Bukan sekedar memperbaharui prosedur hari demi hari. Ketidaksabaran itulah sumber frutasi dan kebosanan.
Sedemikian tak sabarnya hingga tahun-tahun berikutnya dianggap kiamat kendatipun para pengkritik itu hidup di atas kelayakan, menerima gaji dan tunjangan tepat waktu. Memang tak semua, tapi sebagian besar menikmati demokrasi. Artinya, demokrasi masih bekerja sekaligus memberi harapan pada orang banyak dibanding sedikit yang kurang beruntung. Di negara otoriter tentu sebaliknya, dinikmati segelintir orang.
Agar sehat, demokrasi memang perlu di ukur. Riset EIU yang jamak disitasi menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tak terlalu buruk dibanding rezim otoriter diberbagai negara (2023). Dengan menggunakan variabel proses pemilu, efektivitas pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil setidaknya diketahui kemana demokrasi bergerak. Tanpa itu demokrasi hanya simbol dan mimpi.
Ukuran lain yang dapat digunakan dengan melihat indeks demokrasi domestik. Setidaknya kita menyadari sejauhmana kebebasan sipil, perlindungan hak asasi, serta pelembagaan demokrasi dipraktekkan. Keseluruhan ukuran itu bila disederhanakan menjadi dua kategori, yaitu prosedur dan substansi. Prosedur berkaitan dengan semua perangkat sistem sebagai alas demokrasi. Substansi berhubungan dengan outcomes demokrasi, yakni kesejahteraan.
Agar sejahtera, demokrasi sejogjanya memberi porsi terbanyak bagi rakyatnya. Itulah mengapa sebagian fungsi-fungsi esensialnya ditransfer-alihkan ke masyarakat. Sebagian pada kelompok swasta, sisanya pada asosiasi masyarakat. Berbeda dengan sistem otoriter dan totaliter dimana negara mengambil alih sepenuhnya sumber daya untuk kemakmuran kolektif. Sistem ini pernah dipraktekkan hampir 32 tahun. Bahkan sebelum itu, pun dimasa orde lama dengan istilah demokrasi terpimpin.
Sisi baiknya, semua transisi itu membuat kita jauh lebih berpengalaman dibanding negara-negara timur tengah yang hari ini mengalami disorientasi idiologi. Membebek ke barat malu, mengacu ke timur gagal. Alternatifnya, mencari negara non demokrasi yang penting makmur. Jangan heran bila negara-negara di Asia Timur seperti Jepang, China dan Korea menjadi kiblat baru.
Discussion about this post