Namun dalam setiap arena ada hal yang tak terhitung, utamanya imbas internal dan eksternal akibat dampak politik yang ditimbulkan dari lahirnya sebuah keputusan.
Mengingat di Golkar, kita mengenal istilah diskresi. Wewenang pamungkas ini hanya dikendalikan langsung nakhoda partai tertinggi yakni DPP yang didalamnya berkumpul para pembesar partai.
Nampaknya memang tak semudah membolak balikkan telapak tangan. Namun keputusan final tak bisa dihentikan dan akan lahir pada waktunya. Mengingat pasca pemilu ini, silang pendapat sesama kader juga tak bisa dielakkan meski nyaris tak berbunyi.
Semua kader tentu berkeinginan kuat menduduki jabatan bergengsi tersebut.
Terlebih jika sesama kader saling klaim pengabdian yang dibuktikan dengan perolehan suara mayoritas, kader kader itu tentu paling merasa memegang tambuk kepemimpinan wakil rakyat kedepan.
Kecendrungan silang pendapat ini akan menyasar seluruh fungsionaris partai terpilih dengan mengedepankan senioritas, kapasitas, kapabilitas dan etika tidak tercela sebagai alibi dan pamungkas.
Kalau aturan main ini yang ditonjolkan, bukan tidak mungkin potensi polarisasi internal membesar dan semakin rumit dikendalikan.
Sebagian besar kader senior menganggap dirinya yang paling memenuhi persyaratan.
Sehingga mau tak mau perlu jalan tengah sebagai langkah penetrasi yang menempatkan pigur lugu dan menyenangkan.
Kemugkinan langkah ini yang akan dilakukan partai Golkar. Paling tidak terjadi barter politik.
Siapa sangka Irwanto Kulab akan didorong calon Wakil Bupati Banggai? Semua masih bisa terjadi.
Disamping itu, untuk mencapai pemerintahan yang kuat dibutuhkan kekuatan politik setara.
Artinya keinginan eksekutif harus seirama dengan legislatif. Siapapun calon pemerintah daerah kedepan pasti menginginkan capaian visi misinya terlaksana dengan baik dan benar. Tentu butuh dukungan parlemen yang kuat.*
Bersambung
Discussion about this post