Jika pendekatan analisisnya matematika murni, maka langkah amandemen itu bukan hanya memenuhi prasyarat prosedural sebagai mekanisme yang sah menurut konstitusi. Tapi, juga berpotensi besar tergapainya persetujuan amandemen kelima tentang perpenjangan masa jebatan presiden, dari maksimal hanya dua periode, menjadi tiga periode.
Dalam perspektif konstitusi, amandemen apapun – selagi persyaratannya terpenuhi seperti yang tertuang dalam Pasal 37 UUD NRI itu – merupakan keniscayaan, terkategori konstitusional dan sah, meski berlawanan dengan kemungkinan besar kehendak nurani mayoritas rakyat. Meski, mereka yang di parlemen merupakan representasi rakyat dan daerah, namun belum tentu sama persis dengan kepentingan mereka yang diwakilinya. Karenanya, apa yang bergulir di tengah Senayan hanyalah artikulasi kepentingan para elitis, bukan elemen seluruh anak negeri ini.
Sebuah analisis historis yang perlu kita paparkan, andai sketsa politik di parlemen itu benar-benar terjadi, maka amandemen Pasal 7 UUD 1945 tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi yang digulirkan pada 1998. Fakta sejarah mencatat, salah satu spirit atau keterpanggilan nasional yang melibatkan berbagai elemen bangsa saat reformasi adalah masalah pembatasan masa jabatan presiden, yang disepakati maksimal dua periode. Spirit reformasi inilah yang menggerakkan MPR – pada Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999 – melakukan amandemen pertama dengan merubah Pasal 7 UUD NRI, di samping pasal-pasal lainnya: Pasal 5, 13, 15, 17, 20 dan Pasal 21.
Dengan demikian, amandemen kelima yang mengubah masa jabatan presiden tiga periode dan atau penambahan masa jabatan tiga tahun dalam satu periode, hal ini sama dengan mengulangi perilaku kekuasaan yang dulu (zaman Orde Baru) dibenci. Atau – secara sarkatik – bisa dikatakan, sesungguhnya rezim ini sedang memcopy paste Orde Baru. Kekuasaan – akhirnya harus diakui – memang empuk, harus dipertahankan, meski titik akhirnya harus dikoreksi secara revolusif.
Sekali lagi, apakah pengundangan ketujuh parpol tersebut pasti akan menghasilkan format konstitusi baru yang melegalkan perpanjangan masa jabatan tiga periode bagi presiden-wakil presiden? Sangat diragukan. Dalam hal ini kita perlu mempertegas kepentingan pragmatis di antara ketujuh partai koalisi itu.
Yang pertama, PDIP (128 suara) dan Gerindra (78 suara). Kedua parpol pengusung yang bertotal 206 suara ini jelas-jelas telah menunjukkan keinginan politik praktisnya. Kedua parpol ini sama-sama menunjukkan tekadnya untuk mempersiapkan kadernya untuk memimpin negeri ini pasca Jokowi berakhir kekuasaannya. Hal ini dapat kita cermati jelas pada persiapan dan bahkan sosialisasi intensif-ekstensif untuk sebuah misi utama: menggadang kader terbaiknya sebagai presiden RI ke delapan.
Discussion about this post