Oleh: Muhadam Labolo
BEBERAPA hari lalu seorang istri dituntut bersalah 1 tahun penjara oleh hakim di Pengadilan Karawang karena menegur suami yang suka mabuk. Oktober lalu, di Medan, seorang wanita korban penganiayaan preman dijadikan tersangka oleh Polisi. Dua kasus di atas sedikit contoh bagaimana hukum bekerja di sekitar kita.
Sebagai pembanding, seorang hakim di Amerika baru-baru ini membebaskan seorang anak yang diajukan ke meja hijau oleh toko kecil tempat Ia mencuri sepotong roti dan keju. Hakim tak hanya mendenda semua yang hadir sebanyak 10 USD, juga dirinya sendiri dan mini market tersebut. Ia menyimpulkan bahwa kejahatan manusiawi itu produk dari ketidakpedulian masyarakat.
Setahun lalu, Helena Johnson dari Tarrant, Alabama tertangkap Polisi mencuri 5 butir telur di sebuah mini market. Alasannya untuk memberi makan anak-anaknya yang lapar. Uniknya, Polisi tersebut bukan menangkapnya, justru memberinya kelonggaran untuk memenuhi kebutuhan di toko tersebut. Katanya, sometimes we shouldn’t apply the law but must apply the humanity!
Kasus di atas terjadi pada dua penegak hukum, hakim dan polisi. Satu bekerja di meja hukum, yang lain dilapangan hukum. Lokusnya terjadi di dua negara dengan sistem hukum berbeda, kontinental dan anglo-saxon. Di Indonesia, pengaruh sistem hukum kontinental punya sejarah panjang mulai dari kolonial Belanda, code Napoleon di Perancis hingga Romawi kuno yang pernah menjajah Perancis.
Sementara yang kedua tumbuh secara socio-cultural dari dua etnik berbeda, Anglo & Saxon di Inggris. Dalam mekanisme hukum di pengadilan, hakim tak sepenuhnya memiliki otoritas menetapkan seseorang bersalah. Dalam perkara tertentu hakim sangat bergantung pada juri. Bahkan ketika pendapat hakim berseberangan dengan juri, maka pendapat juri menjadi keputusan akhir.
Baca juga: Produk Leadership, Mengatasi Defisit Penjabat Kepala Daerah
Sebaliknya, dalam sistem hukum kontinental hakim memiliki otoritas penuh memutuskan suatu perkara, kendatipun Ia didampingi hakim anggota. Maknanya, hakim memiliki kuasa lebih dalam memberikan keadilan dibanding hakim dalam mekanisme peradilan anglo-saxon yang bergantung pada sekelompok juri.
Dalam perkara ringan, hakim disana dapat memutus suatu perkara menurut hati nuraninya yang didorong perasaan kemanusiaan. Demikian pula dalam kasus Helena versus Polisi. Tampak oleh kita seakan hakim dan polisi sedang membuat hukum baru di luar yang tertera secara positif. Pertanyaannya, apakah penegak hukum di Indonesia dapat membuat diskresi semacam itu demi tercapainya tujuan hukum, keadilan?
Tentu jawaban sederhana, secara logika bergantung pada penegak hukum. Apalagi bila mereka tak terikat dengan juri, tapi terikat oleh kesadaran etik di luar hukum positif yang tak selalu memadai dalam menjawab perkara dilapangan. Kesadaran berdasarkan etik meliputi kesadaran nurani, kemanusiaan dan spiritualitas yang mendorong para penegak hukum menemukan cara terbaik dalam mencapai keadilan substansial.
Diluar jawaban hukum dari sisi formal dan materialnya, konteks di atas mungkin dapat disandarkan pada asas diskresi pada seorang pemimpin. Andai para penegak hukum kita asumsikan sebagai para pemimpin yang punya otoritas memutuskan (di bidang eksekutif), kemungkinan pencarian mekanisme hukum dapat terjadi sebagaimana Sulaiman As mencoba menggunakan pedangnya untuk menentukan siapa ibu kandung dari wanita yang berebut seorang bayi.
Dalam perspektif pemerintahan, diskresi lahir dari asas kebebasan bertindak (vrij bestuur). Prinsip diskresi dilakukan sejauh tak bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi (no contrary to the lex generalis), berhubungan dengan kepentingan orang banyak (solus populi supreme lex), serta berhadapan dengan kondisi yang tak dapat dihindarkan (pericullum in mora). Semua prinsip itu dipakai hati-hati untuk mencegah itikad mencampur aduk wewenang, melampaui wewenang, tidak menggunakan wewenang, bahkan bersikap sewenang-wenang.
Dalam hubungan inilah kita berharap para penegak hukum berani membuat terobosan hukum dalam bingkai etik dan prinsip freies ermessen ketika berhadapan dengan realitas hukum yang dinamis. Fakta itu pernah dilakukan oleh Hakim Bismar Siregar dan Benyamin Mangkudilaga di masa Orde Baru yang sangat hegemonistik. Mungkin inilah pendekatan hukum fungsional yang lebih menyentuh rasa keadilan dibanding berdiri kaku di atas pondasi hukum positif yang selalu lamban. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post