Oleh: Muhadam Labolo
KESULITAN terbesar publik akhir-akhir ini membedakan mana pejabat dan mana penjahat. Mungkin relasi pemerintah dan rakyat lebih mudah diindentifikasi dibanding kedua hal di atas. Pejabat, merujuk pada personifikasi mereka yang menjalankan otoritas publik secara sah. Penjahat sebaliknya, mereka yang mengatasnamakan otoritas pribadi dan kelompok minus keabsahan.
Otoritas publik diperoleh lewat kontrak sosial antara yang memerintah dan yang diperintah. Mereka punya legitimasi periodik. Wujudnya pemerintah. Mereka punya fungsi, tugas, dan wewenang yang ditentukan menurut undang-undang. Tindakan-tindakan mereka dianggap legal, termasuk memungut pajak dan menghukum tersangka.
Otoritas pribadi dan kelompok di klaim sepihak antara individu dan kelompok. Bentuknya bisa gangster, bandit, hingga mafia. Ada mafia peradilan, tanah, hukum, hingga mafia jabatan. Tindakan mereka di luar konsensus bernegara. Karenanya dinilai ilegal ketika memungut hingga menghukum. Bedanya tipis. Hanya soal legitimasi yang dapat berganti sebaliknya.
Para pejabat pemerintah adalah mereka yang punya otoritas formal menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Fungsi itu dilakukan oleh pejabat baik horisontal (legislatif, eksekutif, legilastif), maupun vertikal (presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah/kades). Putusan dan tindakan mereka mengikat kedalam maupun keluar.
Cara kerja penjahat sebenarnya tak jauh beda. Seperti pemerintah, punya organisasi yang dibangun legal. Untuk mengabsahkan tindakannya, otoritas mereka bersembunyi pada oknum pejabat (pemerintah). Dengan begitu tindakan-tindakan mereka seakan legal dan punya legitimasi. Apalagi bila organisasinya diisi oleh pejabat semacam tentara, polisi dan jaksa.
Organisasi penjahat bertindak seakan atas nama para pejabat pemerintah. Disinilah kebingungan publik untuk memilah, mana pejabat dan mana penjahat. Para pejabat berkepentingan memproteksi penjahat guna mengeruk kekayaan di luar gaji dan tunjangan yang di klaim terbatas. Sementara para penjahat berlindung pada otoritas publik lewat para pejabat guna mengamankan jalan mengeruk kekayaan sebanyak mungkin.
Kasus Tambang Timah oleh para penjahat berkelindan pejabat adalah sedikit contoh. Negara bukan saja dirugikan hingga triliunan rupiah, juga memperlihatkan bagaimana otoritas publik dengan mudah dimanfaatkan para penjahat. Para pejabat tak hanya meloloskan izin memperkaya diri dan kroninya, juga menjual otoritas pada penjahat lewat simbiosis mutualistik.
Pola kolaborasi kini menjadi kecenderungan di negara yang dipenuhi pejabat tuna karakter, minim integritas, bahkan miskin rasa malu. Para pejabat memanfaatkan otoritasnya untuk mempertahankan dan memperluas kuasa dan dinastinya. Kasus Ratu Atut dan SYL hanya puncak gunung es yang kini merambah di pusat dan daerah. Otoritas publik bahkan tak malu-malu digunakan untuk melunakkan hukum yang kaku dan keras agar lentur dan lunak.
Dengan otoritas publik itu pula para penjahat hidup penuh gelimang. Mereka boleh melakukan apa saja. Mulai mengubah kota gelap menjadi bisnis syahwat, hingga menyedot timbunan kekayaan negara di perut bumi untuk dibagi-bagi. Para pejabat memberi kuasa luas bagi para penjahat untuk mengelola kekayaan di hulu hingga menyisakan tetes terakhir di hilir.
Tetesan akhir itu boleh jadi dimanipulasi sempurna menjadi sembako gratis. Kata Mahfud (2023), pilkada bahkan dibiayai kaum Cukong. Para pejabat hanya perlu melegitimasinya lewat kebijakan formal agar tak disangka korupsi. Pertukaran akan berlangsung dalam proses pemerintahan. Projek-projek akan dibagi sempurna. Dari yang besar sampai yang kecil. Pendek kata, tak boleh ada yang tak kecipratan. Katanya, inilah makna gotong-royong bernegara.
Para pejabat tak menyadari bahwa semakin besar kekuatan kaum penjahat, kian besar pula upaya mendongkel legitimasi mereka. Ketika penjahat berbalik menjadikan profit sebagai bungkusan sinterklas di tengah kelaparan publik, para pejabat bisa tumbang sewaktu-waktu. Sejarah mencatat, krisis legitimasi merupakan peluang bagi sirkulasi kuasa-revolutif.
Disini momentum penjahat dapat berubah menjadi pejabat, dimana tindakan-tindakannya kelak dilegitimasi secara konstitusional. Realitas itu sekaligus meyakinkan kita bahwa pejabat dan penjahat hanyalah soal persepsi, ruang dan waktu. Mereka hanya perlu menunggu untuk saling bergantian menjalankan kehendak rakyat laiknya Si Pitung dan Pejabat Kolonial. *
Discussion about this post