IKLAN

Opini

Pembatalan Keberangkatan Haji: Menatap Dampak Ekonomi dan Keamanan

253
×

Pembatalan Keberangkatan Haji: Menatap Dampak Ekonomi dan Keamanan

Sebarkan artikel ini

Yang perlu kita cermati, apakah para calhaj akan memuncak amarahnya, sehingga keputusannya bulat: harus menarik dananya, sehingga dirinya sadar untuk membatalkan keberangkatan hajinya? Berangkat dari kerangka pemikiran psikologis, yakni kekecewaan yang mendalam bisa melahirkan reaksi destruktif secara melampaui batas. Tak terkendali. Semakin tak terkontrol reaksinya jika dirinya menganalisis posisi covid-19 yang tak kunjung sirna dan tak ada kepastian kapan sirnanya.

Memang, kecil kemungkinannya mereka melampiaskan amarahnya secara anarkis. Tapi, ketika terjadi reaksi secara ekstensif dalam bentuk penarikan dana, maka dampaknya cukup serius. Yaitu, para calhaj yang sudah dekat dana tau massih jauh dari booking seat terpengaruh untuk melakukan tindakan yang sama: menarik dananya.

Yang perlu kita catat lebih jauh, andai penarikan setoran calhaj hanya dua angkatan terakhir (2020 dan 2021), tentu tak akan membahayakan posisi ekonomi nasional. Namun, akan menjadi persoalan serius jika separo  saja dari total calhaj 4,34 juta orang (berarti 2,17 juta calhaj) yang sudah setor sampai Rp 25 juta. Hal ini berdampak serius. Dengan nilai Rp 25 juta per calhaj dan menariknya, maka di depan mata, negara diperhadapkan krisis kontraksi likuiditas senilai Rp 54,250 trilyun. Angka ini – sekali lagi – masih sangat kecil dibanding APBN kita.

Namun demikian, andai penarikan itu dari masing-masing bank penyimpan dana setoran calhaj, maka bank diperhadapkan situasi panik. Di sanalah kita akan saksikan rush money, yang mendorong publik hilang kepercayaan pada bank. Meski setiap bank penerima setoran  haji akan menolak penarikan itu, tapi para calhaj akan tetap mengabaikan aturan internal bank. Antrian panjang penarikan dana calhaj akan menjadi pemandangan. Negeri ini dan bahkan sejumlah masyarakat internasional menontonnya dan menghitung diri. Ketika hal ini terjadi, pengaruhnya akan meluas. Ketidakpercayaan akan segera meluas. Para deposan noncalhaj pun berpotensi akan ikut menarik dananya. Di sanalah kita akan saksikan panorama perbankan yang akan collapes (sempoyongan) akibat rush money. Sejumlah spekulasi pun akan bermunculan.

Baca:  Farhat Abbas Mundur dari Ketum Pandai

Maka, di depan mata, ekonomi nasional akan gonjang-ganjing dalam waktu sekejap mata, apalagi segera viralisasi pemandangan antrian panjang. Ketidakpercayaan itu pun akan meluas pada sektor politik. Akhirnya, akan terjadi kenaikan suhu politik yang tidak kondusif bagi keamanan negara.

PERAN PENGAMANAN

Petugas keamanan – terutama dari satuan kepolisian – tentu tak boleh membiarkan sejumlah riak-riak aksi yang berpotensi mengancam stabilitas. Dalam hal ini, kepolisian ditantang untuk menciptakan ketertiban. Yang perlu kita pertanyakan lebih jauh, apakah polisi harus menghalau antrian nasabah, sementara posisinya sedang menuntut hak individunya?

Dilematis bagi pihak kepolisian. Melarang antrian panjang para nasabah berpotensi terbangunnya efek psikologis massa menjadi tergerak untuk ramai-ramai mengambil dananya. Sementara, sementara tindakan nasabah merupakan hak personalnya. Atas nama amanat untuk menjaga ketertiban dan keamanan, kepolisian hanya satu satu sikapnya: terpaksa harus mampu memberikan pengertian. Bukan melarang para nasabah dan para calhaj yang akan mengambil haknya, tapi cara pengambilan dananya yang tidak menguncang reaksi psikologis. berarti, polisi tetap harus mengedapankan pendekatan kemanusiaan, bukan bertindak secara “robotik”

Sekali lagi, atas nama dan atau kepentingan keamanan bersama yang harus tetap terjaga, maka diperlukan koordinasi kinerja yang sama-sama menjaga kepentingan semua pihak. Rakyat – dalam kondisi apapun – janganlah dilukai haknya. Karenanya, diperkukan desain kerja yang tetap on the track. Tak boleh terjadi abuse of power seperti pengalihan alokasi atau peruntukan dana publik, dari kepentingan perhajian ke infrastruktur. Sementara kita tahu, ragam proyek infrastruktur bersifat jangka panjang returnnya. Dan pengeluaran dana haji sudah jelas dan pasti kurun waktunya.

Baca:  Benahi Polri itu Berat, Biar Listyo Saja

Ketika tetap dilakukan langkah yang misalokasi, maka itulah dampak alami yang tak bisa dihindari. Dan para petugas keamanan menjadi terbebani. Tidak fair. Tapi, aparat keamanan tidak punya opsi lain kecuali harus tetap mengamankan situasi, meski harus menghdapi realitas reaksi kecut publik. Tidak proporsional kemarahan publik kepada aparat keamanan itu, tapi itulah realitas spikologi massa yang harus dihormati.

Yang menyedihkan adalah ketika aparat keamanan harus juga mengamankan kondisi yang melampaui spektrum: dari sebatas wilayah perbankan, harus meluaskan spektrumnya yang bersifat nasional. Hal ini sejalan dengan dampaknya yang merambah ke sektor politik. Inilah tantangan berat aparat keamanan. Posisinya serba salah. Terjepit. Namun demikian ada satu posisi yang akan tetap menempatkan aparat keamanan dalam posisi terhormat: bertindak sebagai alat negara, bukan kekuasaan. Bertindaklah profesional, tapi tetap harus menjaga prinsip kemanusiaan sebagai hak asasinya. Insya Allah, nama harum akan tetap menghiasi para insan penegak hukun dan keamanan itu. *

Jakarta, 7 Juni 2021

Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

error: Content is protected !!