“Tidak ada tawar menawar lagi, karena kita sudah tau jika koperasi SMS, yang semestinya menjadi roda penggerak dalam kemitraan tidak lagi jalan,” ungkapnya. “Dan akhirnya petani terus dirugikan selama bertahun-tahun lamanya,” tambah dia.
Ia juga berpendapat, dengan kondisi koperasi yang hanya bermodal legalitas, dan atas nama pengurus tanpa menjalankan aturan main selayaknya koperasi yang sehat. Maka, Widi memastikan, koperasi akan menjadi bomper perusahaan ketimbang wadah petani.
Tidak hanya itu, bisa saja hadirnya koperasi SMS hanya akan menjadi alat untuk menjebak petani hingga berujug pada tindakan yang bisa menkriminalkan petani itu sendiri.
“Liat saja beberapa kejadian, petani selalu dibawa-bawa keranah hukum karena dianggap keluar dari surat perjanjian kerjasama antara petani, koperasi dan perusahaan. Padahal, koperasinya sendiri sudah lama tidak jalan,” jelas Widi.
Seharusnya, belajar dari beberapa kejadian, pemerintah juga penegak hukum bisa melihat isi surat tentang para pihak dalam surat perjanjian kerjasama (SPK). Salah satunya, apakah koperasi SMS selaku pihak ke-II dalam SPK itu sudah menjalankan fungsinya sebagai wadah petani atau tidak.
“Jika tidak kenapa selalu dijadikan sebagai alat untuk memenjarakan petani yang tidak mau lagi bermitra, atau menyampaikan mosi tidak percaya,” tuturnya.
Tidak jauh berbeda, Demas Saampap, warga petani asal Honbola juga mengatakan, tetap akan melarang pemanenan buah sawit diatas lahan miliknya. Ia bahkan, meminta para pekerja untuk mengembalikan buah sawit yang baru saja diambil tanpa seizinnya.
“Mereka panen, kita tak pernah tau berapa hasilnya untuk kita. Jadi, kalau koperasinya tidak jalan saya mohon agar perusahaan tidak dulu mengelolah plasma,” ungkap Demas.
Baca juga: Petani Sawit Desak DPRD Banggai Bentuk Pansus Sawindo
(*/yan)
Discussion about this post