Ada tapi tiada. Sungguh memprihatinkan ketiadaannya, sementara – kemana-mana – selalu dikumandangkan eksistensi Pancasila, bukan sekedar ada. Di wilayah kemanusiaan dan keberadaban, kita saksikan sejumlah fakta yang menggambarkan betapa masing-masing komponen bangsa ini tidak lagi demikian menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Harmonitas hubungan sosial antar individu dan atau kelompok mudah terkikis, apalagi jika sudah mengarah pada spektrum politik, ekonomi, bahkan menyangkut hal-hal ideologis, termasuk keyakinan (agama). Daya rekat atau kohesivitas anak bangsa benar-benar kabur saat spektrum kepentingan sempit sudah mulai bicara dan diperjuangkan.
Yang merisaukan lagi, harkat dan martabat manusia sama sekali tak ada lagi harganya ketika dirinya sudah gelap mata hanya karena keterbatasan rupiah. Hanya karena ditagih utang dan tersinggung, atau kebutuhan mendesak (makanan), tak sedikit di antara mereka begitu tega menghabisi nyawa seseorang. Dalam kaitan ini, himpitan ekonomi sungguh menjadi faktor destruktif atas penghilangan nyawa seseorang.
Peritiwa dan atau tindaknan ketidakmanusiaan jelaslah merupakan problem ketidakadilan. Ada korelasi dengan kegagalan pelaksanaan Amanat Sila kelima Pancasila. Di sisi lain – jika kita korelasikan dengan sila pertama dasarnegara kita – terlihatbahwa pembantaian itu mencerminkan ketidakpahaman, sekaligus kagagalan mengamalkan Sila pertama Pancasila.
Harus kita garis-bawahi, spiritualitas Sila pertama bukanlah semata-mata beragama atau berkeyakinan terhadap agama yang dipilihnya. Yang tak kalah krusialnya adalah bagaimana mengimplementasikan spiritualitas atau nilai-nilai yang ditumbuhkan dalam agama. Dalam hal ini agama apapun tak ada yang membenarkan pembunuhan atau penghilangan nyawa secara paksa. Dalam perspektif Islam, Allah sungguh murka kepada hambanya yang mencabut nyawa seseorang dengan paksa. Jangankan oleh orang lain, oleh dirinya sendiri pun Allah murka dan akan mengadzabnya bagi siapa saja yang melalukan bunuh diri. (Q.S. An-Nisa: 29).
Ayat lain terkait dengan larangan bunuh diri, Allah tegaskan,“…Janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendirikedalam jurang kebinasaan”(Q.S.Al-Baqarah: 195). Peringatan tegas Allah ini – jika dikaitkan dalam konteks kehidupan kekinian – menjadi relevan untuk mengerem secara terencana dan dengan kekuatan hukum yang penuh terhadap persoalan narkoba. Urgensinya bukan semata-mata menjaga kepentingan kesehatan setiap diri umat manusia, tapi memang dampak fisik dan psikologis bagi pemakai narkoba. Jika umat manusia mampu hidup tanpa narkoba, maka makna konstruktifnya bukan hanya individu yang bersangkutan semata, tapi menyelamatkan generasi anak bangsa ini. Dan inilah peran negara yang harus punya keterpanggilan politik dan hukum yang kuat dalam mengatasi mavia narkoba.
Kejahatan sistimatis ini harus dilawan dengan ekstra aksi yang penuh ideologis, bersumberkan Pancasila (Sila pertama), ataupun panggilan ilahiyah sejalan dengan tuntunan Allah. Jika kita cermati persebaran dan gurita narkoba dan – di sisilain – kita zoom lebih jauh dengan Sila pertama Pancasila – maka kita bisa membaca korelasi factual bahwa nilai-nilai Pancasila memang bukan hanya tidak atau belum dipahami, tapi lebih dari itu: tidak diimplementasikan secara konsekuen, baik setiap diri sebagai anak bangsa, ataupun negara yang belum membumikan dasar negara secara tegas.
Andai kita bedah seluruh deviasi sosial-budaya, hukum bahkan lainnya, maka hanya ada satu kata: krisis multidimensional yang kini telah melanda bangsa dan negeri ini sudah demikian mereduksi spiritualitas dan nilai-nilai Pancasila. Jika seluruh panorama deviasi itu dicermati lebih jernih, pada akhirnya kita harus bertolak daripersoalan kekuasaan. Ia menjadi faktor determinan apa Pancasila akan terbumikan secara efektif dan maksimal, atau tetap hanya sebagai asesoris dari sistem ketatanegaraan ini. Ketika kita menengok lembah kekuasaan, kita saksikan panorama abuse of power secara terencana bahkan konspiratif dengan melibatkan berbagai komponen elitis supratruktur hingga grass-root yang pragmatis. Penyalahgunaannya terjadisaatberkuasa atau proses sebelumnya: menuju kekuasaan, sehingga kita saksikan dinamika politik penghalalan segala cara (moralhazard).
Panorama kecurangan dinilai sebagai sesuatu yang wajar dalam kancah demokrasi. Alibi ini – tak bisa disangkal – telah menggiring gerakan reaktif penuntutan pro penegakan hukum. Namun, upaya pencarian keadilan politik tak sedikit yang harus terjerembab karena barisan kekuasaan begitu allout dalam menggunakan seluruh kekuatanya untuk mempertahankan kepentingan pragmatisnya.
Dalam kaitan itu penegakan hokum untuk urusan politik jadi loyo, tunduk pada kekuasaan, atau lebih ekstrimnya hukum hanya untuk kekuasaan dan akhirnya negeri ini berstatus sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum lagi. Kondisi ini – secara langsung atau tidak – menjadi faktor disintegritas politik antara pemilik kekuasaan versus sebagian anak bangsa yang tetap mendambakan penegakan hukum. Karena itu, konfliktualitas – setidaknya ketidakharmonisan hubungan negara – rakyat (meskisebagian) – menjadi panorama yang sulit dihindarkan. Dalam kaitan ini, cita-cita persatuan riil yang dispiritkan Sila ketiga Pancasila menjadi fatamorgana, atau hanya menjadi catatan kertas, teoritik semata. Atau, hanya menjadi proyek sosialisasi atas nama negara.
Discussion about this post