DKISP Kabupaten Banggai

Opini

Pengamalan Pancasila: Masih Sebatas Verbal?

514
×

Pengamalan Pancasila: Masih Sebatas Verbal?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Farhat Abbas

PERINGATAN Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni kemarin menyisakan banyak pertanyaan, karena memang banyak sudut pandang historis. Jika memang kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, harusnya publik mengenali sila-silanya: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau Peri kemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial dan 5. Ketuhanan. Tapi, yang kita kenal Pancasila yang dirumuskan 18 Agustus 1945, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Perstuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Catatan historis kelahiran Pancasila tersebut penting. Tapi, jauh lebih penting adalah sejauh mana Pancasila telah membumi atau hanyalah verbal? Variabel ini sungguh mendasar. Karena, perumusannya melibatkan banyak tokoh kemerdekaan yang luar biasa pengorbanannya. Sejarah mencatat, sebanyak74 orang parapendiri negara dari berbagai unsur: suku, ras, golongan, profesi dan agama. Mereka duduk di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), berhasil merumuskan fondasi sistem ketatanegaraan. Pancasila dan UUD1945 adalah produk idealitas dasar negara dan konstitusi untuk berjalan dan tegaknya suatu Negara bagi kepentingan bangsa dan rakyatnya.

Idealitas itu merupakan produk pemikiran, komitmen bahkan tekad atau daya juang yang penuh kesungguhan (jihad)para pendirinegara (founding fathers). Mereka demikian terpanggil dengan penuh dedikasi untuk mewujudkan tatanan negara yang diharapkan mampu memberikan yang terbaik bagi kepentingan bangsanya, secara material dan imaterial. Itulah pertanggungjawaban moral para pendiri negara dulu dalam upaya mengisi kemerdekaan, yang memang harus berbeda lebih baik dengan era terjajah. Pertanggungjawaban itu pula yang mendorong para pendiri negara – di satu sisi – mengerahkan seluruh kemampuan berpikir terbaiknya dengan penuh integritas. Di sisi lain, mereka mampu mengenyahkan ego sentrisnya dari rasa kesukuan, ras, golongan bahkan keyakinan yang sudah hidup atau dipegangnya selama ini. Yang ada dalam benaknya hanya satu: apa yang terbaik untuk bangsa dan negara, itulah yang dipersembahkan.

Baca:  Menimbang Kehadiran Kembali GBHN

Kita tahu, kebutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara demikian multidimensional. Namun – sesuai dengan perjalanan capaian kemampuan dan kematangan pikir, spiritualitas dan tatapan terhadap apa yang terjadi di panggung internasional kala itu – semua itu menjadi energi positif sebagai masukan untuk sebuah produk dasar negara dan konstitusi. Meski bukan yang paling sempurna karena keberadaannya memang produk manusia biasa, setidaknya, karya konsensus hukum-politik para pendirinegara itu luar biasa. Sungguh total untuk kepentingan bangsa dan negara tercinta, tanpa secuil pun muncul vested interest yang bersifat pribadi ataupun golongan, apalagi menyangkut sesuatu yang sangat pragmatis (kekuasaan).

Itulah kepribadian patriotispara pendiri negeri ini jelang negeri ini merdeka. Meski – saat sidang-sidang perumusan bermunculan dialektika – namun spiritnya adalah untuk kepentingan negara dan bangsa yang harus dikedepankan. Itulah karya hukum politik terbaik putera-putera bangsa yang sangat heroik yang dipersembahkan di meja. Yang mengharukan adalah ketulusan sikap patriotis dan ideologisnya untuk negara dan bangsa, bukan kepentingan sempit, terkait kekuasaan atau lainnya. Itulah kedewasaan mereka dalam berkorban.

Dinamika Kehidupan Berbangsa-bernegara
Rumusan Pancasila dan UUD 1945 yang sangat ideal itu harusnya mampu mengatarkan negara dan bangsanya maju, makmur, membuat rakyatnya merasakan hidup aman-nyaman karena mendapatkan perlindungan politik dan hukum yang adil sesuai martabatnya sebagai insan. Idealitas Pancasila harusnya menjadi pijakan atau landasan yang mampu menciptakan kondisi kehidupan bangsa bukan hanya bersatu, tapi juga penuh harmonis tata-hubungannya dan menentramkan sebagai buah manis rasa damai.

Baca:  Pemilu Sebagai Kritik

Namun, idealitas itu – dalam perjalanannya sesuai perkembangan zaman – terus mengalami dinamika yang penuh distorsi. Bisa dikakatakan kian jauh dari yang dicita-citakan. Meski secara fisik terdapat sejumlah kemajuan riil, namun justru secara imeterial megalami degradasi yang kian serius. Makin jauh dari titik awal perumusan Pancasila dan UUD1945, kian menganga jaraknya antara idealitas dengan realitas. Membumikan nilai-nilai Pancasila kian buram, terus membentur tembok raksasa yang sulit diterobos.

Banyak fakta bicara nyata. Dalam kontek politik, kita saksikan panorama konfliktual antarelitis, ataupun lapisan grass-root. Setidaknya, panorama konfliktualitas itu menampak jelas saat berlangsung kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden-wakil prrsiden (pilpres) bahkan pemilihan legislatif (pileg).

Stadium konfliknya – tak bisa kita pungkiri – sungguh mengkhawatirkan. Nyaris menjadikan negeri ini separatif, berpuing-puing menjadi beberapa negara bagian. NKRI diambang kehancuran. Pemandangan ini dapat kita garis-bawahi dengan jelas: spritualitas Sila ketiga Pancasila benar-benar sirna. Sila ketiga ini tak lagi diingat sebagai dasar negara, tapi lebih merupakan asesoris sistem ketata-negaraan yang bersifat given.

Dampak destruktif sistem pemilihan langsung itu menjadi pertanyaan mendasar, apakah bangsa ini memang belum dewasa menghadapi realitas perbedaan politik,atau memang para perancang dan implementator perundang-undangan tidak lagi menghormati Sila ketempat Pancasila? Pasti – secara kompak – akan dijawab, “kami semua tetap setia Pancasila tanpa reserve”. Namun – secara factual dan leterlijk – pemberlakuan sistem pemilihan langsung sudah menegasikan Sila keempat itu. Sila keempat ini bagai patung memorial.

error: Content is protected !!