IKLAN
Opini

Pengamalan Pancasila: Masih Sebatas Verbal?

524
×

Pengamalan Pancasila: Masih Sebatas Verbal?

Sebarkan artikel ini

Yang cukup mencemaskan adalah para pihak yang selama ini tercatat sebagai “pendekar” penegakan hukum – setidaknya tercatat sebagai pihak yang demikian committed untuk hukum dan keadilan – justru masuk dalam jeratan kooptasi kekuasaan. Ia larut pada irama permainan hukum prokekuasaan. Tanpa malu, iamenjadi bagian dari kekuasaan yang – dimata sebagian anak bangsa – sejatinya bermasalah. Dalam kaitan ini, terlihat ada krisis keteladanan integritas.

Bagaimana dengan ekonomi? Cita-cita kemakmuran relatif telah terwujud, tapi hanya sebagian pihak, padahal amanatnya bagi seluruh rakyat (amanat Pasal 33 UUD 1945). Yang kita saksikan adalah eksplorasi dan eksploitase tanpa batas dengan relatively cukup sedikit rembesannya untuk rakyat yang sejahtera, apalagi makmur. Yang perlu kita catat lebih jauh adalah reaksi alam semesta akibat Gerakan sistimatis eksploitase dan eksplorasi lingkungan alam itu. Alam semesta memang seperti tak berdaya akibat peran dan campur tangan umat manusia yang demikian taghut (malampaui batas) dalam mengeksploitasi. Namun kita saksikan ketidakberdayaan mereka ditunjukkan dengan sejumlah reaksi. Mereka“berontak”dalam bentuk longsor, banjir, gempa, gerakan angin yang demikian dahsyat daya terjangnya.

Muara Persoalan
Jika kita identifikasimuara persoalannya, maka semua panorama distorsi atau krisis yang telah memultidimensi itu merupakan implikasi dari krisis moralitas umat manusia yang tertumpu pada kualitas hati nurani yang rusak dalam stadium tinggi. Kerusakan hati yang sudah masuk dalam relung nafsulammarah dan nafsul-lawwamah – dalam perspektif Imam Ghazali(al-kimyatu as-saadah) – mendorong hilangnya kepekaan dalam menatap urgensi kelestarian alam yang harusnya dipelihara, secara politik (regulasi, perudang-undangan) dan secara ideologis melalui perangkat penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi.

Ketidaksadaran atau ketidakpekaannya membuatdirinya demikian ganas dalam mengekploitasi tatanan alam secara melampaui batas. Tertutupnya nafsul-muhimmah yang ada dalam diri kita membuatnya ganas terhadap alam. Dan hal ini membuat kita sering diperhadapkan panorama bencana alam yang tak terhitung lagi jumlah peristiwanya, apalagi dikaitkan dengan nilai material dan imaterial para pihak yang terkena dampak. Setiap terjadi bencana alam, selalu terlihat pemandangan yang sangat memprihatinkan dari sisi kemanusiaan. Yang menjadi masalah, munculkah empati menyaksikan jeritan kesedihan itu? Ada, tapi lebih bersifat represif, tidak sampai pada menjawab persoalan yang sangat mendasar mengapa terjadi bencana.

Baca:  Presidential Threshold: Pembajakan Demokrasi?

Harus kita catat,sejumlah bencana alam merupakan reaksiatas “pemerkosaan” terhadap alam yang melampaui batas sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Karena itu, janganlah melihat reaksi alam itu, tapi bagaimana kualitas dan agresivitas dorongan para pihak yang menguasai dan mengeksploitase alam secara melampaui batas itu tanpa memperhatikan hak-hak alam yang menyatu dalam dirinya. Dalam kaitan itu, produk kebijakan yang dilahirkan dan para pihak yang – secara konspiratif – begitu agresif dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kepentingan ekosistemnya, itu semua menjadi faktor yang perlu dilihat dengan jernih dan sikapi dengan tegas.

Hal ini berarti ada persoalan mendasar dalam hal moralitas kekuasaan dalam diri pemangku kebijakan, pemegang otoritas lapangan, juga para pihak yang menghendaki secara agresif terhadap sumberdaya alam itu. Dalam hal ini kita harus mencatat, krisis moralitas yang melanda mereka cukup menggambarkan betapa mereka tak peduli terhadap entitas makhluk lain (alam semesta), yang sesungguhnya saling melengkapi dalam tatanan kehidupan bersama dan karena itu harus saling menghormati hak-haknya sebagai sesama makhluk hidup. Krisis moralitas itu membuat mereka tak mau memikirkan dampa kekologis yang – pada akhirnya – menerpa kepentingan kemanusiaan.

Dalam kaitan itu, kita semua layak mempertanyakan bagaimana kualitas moral para pihak yang berperan sebagai pengendali kekuasaan, perancang regulasi di setiap level, pelaksana di lapangan dan cara pandang para pihak yang demikian agresif mengeksploitase sumber daya alam? Pertanyaan itu – jika ditarik lebih jauh kebelakang – membuat pertayaan lagi, bagaimana proses rekruitmen saat memberikan mandat kakuasaan? Jika dikaitkan proses politik, maka pertanyaan yang relevan adalah apakah sudah pada garis yang benar saat kandidat menuju kursi kepemimpinan, dalam wilayah eksekutif ataupun legislatif?

Baca:  Farhat Abbas Mundur dari Ketum Pandai

Perlu kita sadari bersama, ketika seluruh proses pemilihannya on the track, maka moralitas kekuasaannya akan dipandu dengan sistem moral yang konstruktif, yang selalu melihat atau mempertimbangkan sejumlah anasir yang bernuansa kesimbangan. Dzat Allah akan selalu bersemayam dalam hati manusia ketika dirinya akan melakukan sesuatu, termasuk goresan tandatangannya: apakah akan menyelematkan atau menghacurkannya. Esksistensi Allah yang merasuk ke dalam hatinya akan selalu memandunya ke wilayah penyelamatan, terhadap kepentingan alam semesta dan umat manusia. Inilah pandangan sufistik yang kini terasa kian hilang dalam diri para pemangku kekuasaan.

Sebaliknya, ketika nama Allah sirna atau tiada dari qolbunya, maka itulah yang kita saksikan pada proses politik yang out of thet rack. Proses politik yang menghalalkan segela cara, apalagi dibackup oleh kekuatan bohir (sponsor), maka konspirasi dengan para pemodal tak bisa dihindari. Inilah ketundukan yang berdampak jauh pada kerusakan sumber daya alam kita. Jatidiri Allah sebagai pemilik alam semesta tersingkirkan dari qolbunya. Akibatnya, ketundukan terhadap para sponsor itulah yang dominan. Dan hal ini – secara faktual – telah mendorong diri mereka tererosi atau tergradasi integritasnya. Catatan ini dapat kita rujuk pada panorama penindakan hukum akibat keterlibatannya melawan hukum. Jumlahnya pun relatif tidak kecil.

Sebuah renungan, apakah Pancasila dan atau konstitusi kita memberikan toleransi terhadap praktik kejahatan terhadap sumber-daya alam? Tidak. Sila pertama Pancasila tentang ketuhanan, bukan semata-mata bicara tentang keyakinan yang bersifat vertical dalam kaitan ibadah mahdhah, tapi – secara artifisial dan substantif –adalah Dia Yang Maha Esa memerintahkan apa terhadap alam. Titahnya dalam domain ibadah ghoiru mahdah adalah memelihara, bukan membuat kerusakan (Q.S.Al-`Araf:56). Titah dan atau ajaran ini untuk kepentingan umat manusia, di samping makhluk lain seperti binatang.

error: Content is protected !!