Dimana negara maju dalam melakukan kerja sama bukan hanya mendanai negara Indonesia tetapi melakukan proses transaksi sertifikat dengan harus dapat mencapai target emisi karbon yang ditentukan oleh kedua belah pihak dalam bekerja sama.
Paris Agreement memang sebuah komitmen yang dapat membantu negara berkembang dimana negara – negara ini memang membutuhkan dana dari negara maju untuk dapat membantu perekonomiannya dan juga membantu mereka untuk mencegah masalah industrial lingkungan dari kegiatan ekonomi. Sementara, negara maju membutuhkan sertifikasi untuk menekan emisi karbon yang dihasilkannya.
Tetapi yang menjadi permasalahan adalah hingga akhir tahun 2020 komitmen bantuan finansial dari negara maju ke negara berkembang sebesar 100 miliar dolar AS pe tahun belum dapat teralisasi. Hal ini kemudian menurunkan rasa kepercayaan negara berkembang kepada negara maju.
Kesepakatan aturan pasar karbon sendiri belum direalisasikan. Selain itu, secara operasional mekanisme perhitungan kredit dalam pengawasan internasional untuk mencapai mitigasi keseluruhan dalam emisi global dilaksanakan agar kontribusi para pihak terhadap penurunan GRK termonitor, terlaporkan, dan terverifikasi.
Green economy sebagai implementasi perdagangan karbon
Isu mengenai lingkungan memang menimbulkan tantangan yang besar terutama yang berkaitan dengan peran negara dan hubungan antara lingkungan internasional dan domestik.
Salah satu asumsi dari teori hijau adalah menekankan pada sisi global dan internasional yakni masyarakat global memiliki hak-haknya untuk mengontrol sumber daya dan keberadaan masyarakat bio-regional sebagai dasar pembangunan dibumi penting untuk mengontrol sumber daya dan keberadaan masyarakat bio regional sebagai dasar pembangunan dibumi.
Berdalih dari asumsi tersebut menurut penulis keseimbagan antara pengelolaan sumber daya dan kondisi lingkungan perlu untuk dilakukan agar dapat mencegah permasalahan lingkungan dan memajukan perekonomian sebuah negara.
Seperti yang kita ketahui bahwa sering kali kebijakan ekonomi justru mengorbankan lingkungan oleh karena itu untuk dapat mencegah hal tersebut maka dibuatlah sebuah teori green economy untuk dapat menyeimbangkan kedua hal tersebut.
Green economy sendiri memiliki cangkupan yang lebih luas dari Low-Carbon Economy (LCE) atau Low Fossil Fuel Economy (LFFE) yakni aktivitas ekonomi yang memberikan output minimal terhadap emisi Green Houses Gas (GHG) yang dilepaskan.
Green Economy merupakan model ekonomi yang berkembang dengan sangat pesat, yang bertolak belakang dari ekonomi sekarang (black economic model) yang menggunakan fossil fuels. Green economics ini membahas mengenai ketergantungan manusia secara ekonomi terhadap ekosistem alam yang berakibat dari aktivitas ekonomi manusia terhadap climate change.
Dapat dilihat juga melalui mekanisme perdagangan karbon maka negara Indonesia sendiri dapat menjembatani kedua hal tersebut dimana aktivitas ekonomi ini yang kemudian berdampak pada lingkungan dapat dikontrol melalui sebuah regulasi pencapaian emisi karbon yang harus dicapai oleh aktor tersebut untuk dapat mencegah adanya kerusakan lingkungan yakni emisi karbon tersebut.
Melalui hal ini, penulis melihat bahwa Negara Indonesia memang berpotensi untuk dapat melakukan perdagangan karbon. Namun, komitmen ini harus diantisipasi dan dibangun dengan implementasi MRV tersebut yakni Monitoring, Reporting, dan Verification, pengawasan pasar, alokasi kuota emisi, dan infrastruktur perdagangan emisi karbon yang produktif.
Negara Indonesia harus dapat memiliki kesiapan dalam berbagai aspek yakni dari sumber daya manusia, organisasi, serta aturan formal mengenai teknologi dan informasi.
Perlu adanya regulasi harga dan mekanisme perdagangan karbon yang dapat memberikan insentif bagi para stakeholder untuk mencapai target NDC serta memastikan pendapatan dari perdagangan karbon yang diinvestasikan untuk program emisi. *
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia
Discussion about this post