Oleh: Muhadam Labolo
Relasi Sipil-Militer dalam penanganan konflik sosial pada dasarnya telah diatur lewat UU No.7 Tahun 2012. Bila rules menjadi rujukan kita dalam negara hukum, maka tanpa melihat konsep theoritical militery defence ada baiknya kita mengacu pada dasar hukum semacam itu agar lepas dari polarisasi pro-kontra. Beleid ini mengatur serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi serta peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah konflik yang mencakup pencegahan, penghentian, dan pemulihan pasca konflik. Tujuan rezim ini menciptakan kehidupan masyarakat aman, tentram, damai, sejahtera, harmonis, tenggang rasa, toleransi, melindungi jiwa, harta, sarpras, hak korban, fisik, mental serta memelihara fungsi pemerintahan.
Guna menjamin agar fungsi pemerintahan tetap berjalan dengan baik, undang-undang itu memberikan otoritas penuh kepada kepala daerah dalam menentukan status keadaan konflik di level masing-masing. Pada tingkat provinsi misalnya, Gubernur berwewenang menetapkan status keadaan konflik skala provinsi setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD Provinsi (pasal 18). Demikian pula ditingkat kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat. Pada level nasional menjadi kewajiban presiden. DPRD berfungsi mengawasi masa pemberlakuan status konflik hingga 90 hari. Selain kepada DPRD, akuntabilitas penanganan konflik dilakukan secara hirarkhi, bupati/walikota kepada Mendagri melalui gubernur, dan gubernur kepada presiden melalui mentri dalam negeri.
Dalam kondisi darurat, relasi antara otoritas sipil dan militer juga telah diatur dengan jelas dalam pasal 33, soal bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan militer. Keterlibatan militer hanya mungkin jika kepala daerah meminta bantuan melalui pemerintah. Tidak bisa langsung apalagi atas inisiasi militer sendiri, itu jelas melampaui wewenang sebagaimana diatur dalam UU 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Bantuan yang diberikan militer harus berpijak pada ketentuan perundang-undangan, selain dikoordinasikan oleh Polri dan bukan sebaliknya. Relasi militer berakhir manakala telah dilakukan pencabutan penetapan status keadaan konflik atau berakhirnya jangka waktu status keadaan konflik.
Baca juga: Mitos, Religi dan Sains Kita
Sampai disitu jelas peran militer dan polisi dalam penanganan konflik. Pasca konflik, semua aktivitas pemulihan dalam bentuk rekonsiliasi, rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi tanggungjawab otoritas sipil. Konflik yang bersumber dari permasalahan politik, ekonomi, sosial budaya, umat beragama, suku, etnik, batas wilayah, sumber daya alam, serta distribusinya yang tak seimbang dapat dihentikan manakala bersifat kekerasan fisik. Dalam konteks inilah diperlukan peran positif tidak saja aparat keamanan, juga yang paling penting melibatkan tokoh masyarakat, agama dan adat (lihat juga pasal terkait soal ini).
Lebih spesifik lagi, tugas dan fungsi TNI telah diatur dalam Pasal 7 UU 34 Tahun 2004, diantaranya menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok itu diurai terang-benderang mulai operasi militer perang hingga bagaimana operasi militer dalam situasi normal (non perang). *
(Penulis adalah dekan fakultas politik pemerintahan IPDN)
Discussion about this post