Oleh: Muhadam Labolo
SEBUAH video pendek menampilkan dialektika dua artis populer berdiskusi perkara religi dan demokrasi. Salah satu menilai bahwa demokrasi tak mengatur detil perkara sopan santun sebagaimana religi. Sepintas, sang artis seakan menyesali mengapa bangsa ini sejak awal tak memilih religi sebagai fondasi formalistik bernegara, agar seluruh perikehidupan di atur menurut teks religi. Semangat khilafah tampaknya tak hanya menyasar konvoi di sebuah kampung, kini memasuki lapisan super elit di tengah fakta Sudan memilih demokrasi pasca 30 tahun konflik dengan sistem religi.
Mensejajarkan religi dengan demokrasi tentu sebuah kesesatan yang nyata. Religi bukan demokrasi, dan demokrasi bukan pula religi. Keduanya punya titik temu di teks, sekaligus titik tengkar di konteks. Religi adalah seperangkat nilai yang diyakini individu & masyarakat untuk mengatur hidup di dunia dan akherat. Religi pun dapat dipakai sebagai sistem nilai bernegara, baik sekedar saripati maupun lengkap dengan asesorisnya. Religi bersifat teosentris dengan ragam makna, seperti lembaga, nilai, dogma, simbol, kelompok dan ritualitas.
Demokrasi lain lagi. Demokrasi adalah seperangkat sistem nilai ciptaan manusia _(antroposentris),_ mengatur kehidupan bernegara, minus urusan akherat. Demokrasi memiliki sistem nilai yang dapat diadaptasi sesuai kebutuhan setiap masyarakat yang membentuk negara. Sebagai konsesus, demokrasi dapat berubah sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat. Demokrasi jelas tak sekonstan apalagi sesuci religi. Dia mengidap kelemahan sekaligus kelebihan.
Dengan horison sebatas itu, demokrasi jelas bukan fatwa nabi yang secara teknis mengatur soal sopan santun individu, tapi bukan berarti pula demokrasi tak peduli dengan urusan semacam itu. Demokrasi berkaitan dengan urusan orang banyak _(public),_ di atur lewat konsensus bernegara, konstitusi, undang-undang hingga turunannya. Disitu demokrasi dapat menyentuh urusan publik dan privat. Pada aturan-aturan teknis itulah demokrasi secara tak langsung mengatur kehidupan warga bernegara.
Demokrasi pada hakekatnya hanya meletakkan prinsip-prinsip utama dalam bernegara. Dari situ demokrasi diterjemahkan sesuai basis kultural dan konsensus masyarakatnya. Prakteknya bisa berbeda antara demokrasi di barat dan timur, termasuk Indonesia. Hasil serbuk sari antara budaya dan demokrasi itu sendiri melahirkan _groundslagh_ bernegara, Pancasila misalnya. Tentu saja demokrasi yang kita adaptasi berlandaskan Pancasila. Pada level empirik itulah demokrasi sadar atau tidak mengatur kehidupan bernegara. Selebihnya ditopang oleh sistem sosial budaya dan religi.
Karakteristik religi terdiri dari seperangkat ajaran, kitab suci, nabi, doktrin, dan penganutnya. Demokrasi pun memiliki sejumlah prinsip sebagai sistem nilai yang diadaptasi oleh masyarakat dalam praktek bernegara. Dengan perbedaan itu kita bisa menjauhkan dikotomi religi yang agung dari Tuhan dengan demokrasi sebagai karya rasio manusia. Demokrasi di desain sebagai bentuk kesadaran moral atas realitas budaya yang beraneka rupa. Religi membawa nilai universal termasuk demokrasi dengan lanskap yang luas.
Religi mengajarkan musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu prinsip dasar demokrasi. Dalam Islam misalnya, dasar kita mendorong kesepakatan bernegara adalah Q.S Al Imran 159. Sebaliknya, demokrasi jelas membawa prinsip musyawarah sebagai amanah religi. Prinsip lain misalnya kesetaraan _(equality)_ yang didasari Al Zariyat, 56. Kebebasan pun diserap demokrasi sebagaimana perintah religi dalam Al Kahfi, 29. Mungkin pada tingkat ideal relasi demokrasi dan religi baik-baik saja. Persoalan muncul ketika demokrasi dan religi bertatap muka di ranah praksis.
Sebagai sebuah nilai, religi dan demokrasi relatif tak bertentangan. Kecuali kita bermaksud ingin mempertentangkan. Religi dapat diadaptasi langsung menjadi sistem bernegara seperti Arab Saudi & Brunai. Walau jika ditilik tak sepenuhnya teokrasi murni, bercampur bentuk monarchi. Monarchi sendiri kreasi manusia, bukan perintah tekstual religi. Disini jelas bahwa sistem dan bentuk negara adalah produk konsensus manusia sebagaimana perintah religi agar berpemerintahan. Berpemerintahan itu wajib, soal bentuknya tergantung konsensus kita.
Demokrasi dapat diadaptasi sebagai sistem bernegara seperti Amerika dan Indonesia. Tapi inipun tak sepenuhnya pikiran manusia, sebab semua konstitusi faktanya diserap dari saripati religi. Problem yang seringkali kita kritik adalah kesenjangan antara fondamental bernegara (konstitusi) dengan aturan dibawahnya. Konstitusi seakan dikangkangi oleh organ hukum dibawahnya. Undang-undang melecehkan amanah konstitusi demi kepentingan kapitalis dan oligarchi. Rakyat tak kuasa dan lemah mengujinya. Disitu demokrasi di kritik gagal, karena tak mampu mengontrol elit yang sedari awal dipilihnya.
Religi pun dapat berbeda dalam penerapannya. Arab Saudi, Brunai dan Afganistan umpama. Arab Saudi tak mendenda warganya yang tak sholat jumat. Sebaliknya, Brunai dapat mendenda warga muslim yang tak jumatan. Di Afganistan perempuan tak banyak kebebasan, di Arab Saudi perempuan sudah bisa menyetir mobil. Jadi masalahnya di penerapan, bukan di nilai universalnya. Seberapa baik religi dan demokrasi diterjemahkan dalam sistem bernegara, kembali pada masyarakat dan rezim masing-masing.
Apakah prinsip _one man one vote_ dalam demokrasi bertentangan dengan prinsip religi? Bukankah semakin banyak orang jahat akan cenderung memilih orang jahat pula. Ini prinsip dalam sistem pemilihan sebagai bagian dari proses demokrasi, bukan nilai utama (Dahl, 1984). Untuk menghindari kelemahan itu, mekanisme demokrasi tak melulu dipilih langsung, dibuatlah mekanisme tak langsung sebagaimana dicetuskan penggagasnya di Yunani, termasuk oleh _founding fathers_ dalam praktek demokrasi di Indonesia. Kalau sekarang dianggap berbeda dan kebablasan, itulah salah satu masalah yang dikritik banyak orang, termasuk ormas KAMI dan mantan Wapres Try Soetrisno.
Pada tingkat praktikal, nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan dan kemanusiaan perlu di kontrol lewat fundamental dasarnya (konstitusi). Apakah atas nama nilai demokrasi itu kita membolehkan L687 sebagaimana negara lain. Itu semua bergantung pada kemampuan wakil rakyat memfilter lewat argumen religi dan budaya. Bila pemain sepak bola sekelas Idrissa Gana Gueye asal Senegal berani bersikap anti _homophobia,_ _biphobia,_ dan _transphobia_ dihadapan mayoritas penonton Perancis, apatah lagi wakil rakyat di depan kelompok kecil penganut liberalisme kebablasan.
Dalam praktek lain misalnya, para khalifah pernah mempraktekkan mekanisme demokrasi tak langsung. Sejarah transisi kekuasaan dari Abu Bakar, Umar, Usman hingga Ali sepeninggal nabi hanya menggunakan dua mekanisme, yaitu penunjukan _(political appointed)_ dan representatif _(representatif of government),_ bukan dipilih langsung seperti mekanisme sekarang ini. Amerika sepanjang lebih 200 tahun terakhir masih konsisten menggunakan mekanisme tak langsung dibanding Indonesia yang lebih muda usia demokrasinya.
Apakah _vox populi vox dey,_ bertentangan dengan religi? Ini semboyan demokrasi bukan prinsip utama. Tentu saja suara rakyat tak bisa disamakan dengan suara Tuhan. Perlu dipahami bahwa ide demokrasi merupakan antitesa dari kegagalan teokrasi, dimana hak rakyat dirampas elit religi. Kebebasan di tukar dengan surat tebusan dari institusi religi. Dosa dianggap warisan yang dapat ditebus lewat tanda tangan seorang elit religi. Perselingkuhan elit religi dan penguasa memperlemah kekuasaan (Kuru, 2021). Dalam misi pembelaan kaum lemah itulah demokrasi hadir.
Demokrasi hanya mengatur perkara bernegara di dunia, bukan hal ikhwal di Padang Mahsyar. Suara rakyat suara Tuhan menekankan pentingnya penguasa memperhatikan keinginan rakyat dengan sungguh-sungguh, sebab salah satu doa yang langsung diijabah Tuhan adalah doa rakyat yang terzolimi. Sedemikian kuatnya pesan itu sehingga dianalogikan seakan mewakili suara Tuhan. Sejarah feodalisme menceritakan bagaimana rakyat menjadi objek eksploitasi raja dan elit religi di eropa.
Religi pada akhirnya bergantung pada elitnya, yaitu tokoh agama dan penguasanya. Kita tak mungkin bisa bertanya langsung pada Nabi yang telah wafat, apalagi pada malaikat jibril. Kita semua menerima hasil ijtihad & fatwa dari elit religi (ulama). Kalau fatwanya haram atau halal, itulah yang dipraktekkan. Demokrasi pun demikian, bergantung pada elit dan penguasanya. Bila konsensus disepakati elit dan kuasanya untuk kejahatan, maka prakteknya juga seperti itu. Dapat dipahami mengapa dalam religi maupun demokrasi perlu berhati-hati memilih pemimpin disamping kontrol oleh wakil masyarakat.
Simpulnya, baik religi maupun demokrasi pada tataran ideal baik-baik saja. Namun ketika berada di ranah empirik, keduanya bisa berbeda, dan dianggap masalah. Sebagai murid Socrates dan Plato, Aristoles boleh yakin bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dari yang ada, namun kedua gurunya tak luput mengkritik sebagai sistem terburuk bila tanpa prasyarat tertentu. Prasyarat itu yang perlu kita benahi, sekaligus mendudukkan religi dan Demokrasi (Pancasila) pada porsinya, menghilangkan dikotomi, apalagi menyesali sebagai produk gagal masa lalu. Itu jelas ahistoris dan gagal paham. Namun sebagai alternatif diskursus dalam demokrasi tentu tak masalah. *
Discussion about this post