(Sebelum lanjut membaca, penulis berharap kita semua bisa membaca tulisan ini sebagai pribadi, tanpa membawa tendensi atau kepentingan politik apa pun. Tulisan ini dibuat untuk kita semua—tanpa warna, tanpa nomor.)
DI kota kecil ini, sejak awal tahun 2024, kita mulai mendengar orang berbicara tentang politik dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya.
Obrolan itu semakin menjadi-jadi sejak November. Bahkan mungkin masih berlangsung saat tulisan ini muncul di layar telepon genggam pembaca.
Pertanyaan-pertanyaan ringan seperti tentang tetangga yang belum sukses, atau keponakan yang belum menikah. Kini berganti menjadi perbincangan soal arah politik.
“Siapa pilihanmu?”
“Nomor berapa yang paling kau sukai?”
Lalu, orang-orang mulai membenci satu sama lain—dari individu ke individu, dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Tak jarang, kita menemukan pegawai yang membenci atasannya, atau saudara yang tak lagi saling menyapa, hanya karena beda pilihan.
Di tengah gempuran masif penggunaan media sosial, Pemilu dan Pilkada 2024 terasa semakin panas.
Banggai, dibangun dari empat suku besar yakni Banggai, Balantak, Saluan, dan Andio.
Keberagaman ini disulam pula oleh suku, agama, ras, dan keyakinan lainnya.
Banggai yang dikenal dengan semboyan Poto’utusan (bahasa Saluan) dan Montolutusan (bahasa Banggai), barangkali—sekali lagi ini sebatas asumsi pribadi—adalah salah satu tempat yang paling merasakan gejolak politik yang begitu panas.
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah pada 27 November 2024, orang-orang mulai melabeli sesamanya dengan angka: satu, dua, atau tiga—nomor pilihan masing-masing. Tak ada lagi agama, suku, atau warna kulit.
Yang ada hanya, “Nomor berapa yang kau pilih?” Kebencian tidak lagi tersembunyi seperti saat bergosip di kantor, tetapi ditunjukkan secara terbuka: mencaci, menyerang, bahkan menyebar berita bohong.
Dari hasil Pilkada Kabupaten Banggai yang dilaksanakan serentak 27 November 2024, KPU mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 722 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Perolehan suara masing-masing pasangan calon adalah sebagai berikut:
1). Paslon 1 (Amirudin–Furqanuddin Masulili): 92.182 suara
2). Paslon 2 (Herwin Yatim–Hepy Yeremia Manapo): 31.035 suara
3). Paslon 3 (Sulianti Murad–Samsul Bahri Mang): 89.929 suara
Tak terima dengan hasil tersebut, pasangan nomor 3 menggugat ke Mahkamah Konstitusi melalui Perkara Nomor 171/PHPU.BUP-XXIII/2025.
Setelah proses persidangan, pada 24 Februari 2025, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU) di dua kecamatan: Toili dan Simpang Raya.
MK menolak seluruh eksepsi dari pihak termohon serta pihak terkait, namun mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Salah satunya: membatalkan Keputusan KPU sebelumnya dan memerintahkan PSU. PSU digelar pada 5 April 2025.
Hasilnya diumumkan pada 9 April melalui Keputusan KPU Nomor 17 Tahun 2025, dengan rincian perolehan suara sebagai berikut:
1). Paslon 1 (ATFM): 95.073 suara
2). Paslon 2 (Win-Hepy): 27.227 suara
3). Paslon 3 (Banggai Hebat): 94.176 suara
Namun, drama belum berakhir. Paslon nomor 3 kembali menggugat hasil PSU tersebut.
Proses kembali berlarut. Barangkali, pasangan calon tidak terlalu merasakan lelahnya proses ini, tetapi masyarakat—kitalah yang paling terdampak.
PSU membawa banyak konsekuensi. Tujuan awal Pilkada serentak agar kepala daerah memiliki masa jabatan yang sama jadi tak tercapai.
Target efisiensi anggaran pun meleset—dan dana PSU seharusnya bisa dialokasikan untuk pelayanan dasar masyarakat, khususnya di Banggai. Jika PSU terus dilakukan, sumber daya publik terkuras.
Tak hanya itu, suhu politik yang panas pada Pilkada reguler semakin meningkat saat PSU.
Ketidakpastian dan ketidakstabilan pun menjadi nyata. Dua kali pemungutan suara dalam waktu berdekatan mengganggu stabilitas pemerintahan.
Kita semua kembali harus menunggu, berharap, dan bersabar dalam proses panjang yang tak kunjung usai. Ketegangan sosial dan politik makin terasa.
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Banggai tahun 2024–2025, dan entah sampai kapan ini akan selesai, menjadi memori kolektif bagi kita semua.
Bagi setiap jiwa yang hidup dan berharap perlindungan dari payung pemerintahan Kabupaten Banggai, bahwa siapapun nanti yang terpilih, selama proses ini berlangsung, sebagai warga dengan KTP Kabupaten Banggai—kita semua telah dirugikan oleh keinginan berkuasa yang begitu besar. *
Penulis FP
Discussion about this post