Oleh: Farhat Abbas
PENUH intrik, destruktif dan cenderung mengabaikan konstitusi, Pancasila, dan prinsip kemanusiaan apalagi ketentuan agama. Itulah kondisi negeri ini menuju 2024, meski kini masih masih dalam tahun 2022. Mengapa harus terjadi panorama jahat itu? Jawabannya simpel: di tahun 2024 – jika sesuai jadwal yang diketok Pemerintah dan DPR RI – akan terselenggara pesta per lima tahunan: pemilihan presiden – wakil presiden, di samping pemilihan para wakil rakyat (DPR) dan para wakil daerah (DPD RI).
Yang menarik untuk kita soroti secara khusus, jauh sebelum perhelatan per lima tahunan itu, kian mengemuka sejumlah manuver yang sarat dengan problem moral hazard. Bukan hanya persoalan demokrasi yang “dilucuti” bahkan dibunuh oleh negara yang notabene bersistem demokrasi, tapi juga prinsip konstitusi, Pancasila bahkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketentuan keagamaan. Semua itu ditabrak tanpa mempedulikan hak atau kepentingan pihak lain yang dirugikan akibat perilaku kekuasaannya. Seperti ada agidium yang tengah berjalan, “Pokoknya, terserah gue. Mau apa lu. Emang gue pikirin urusan lu?”, kalimat imajiner penguasa dalam bahasa gaul zaman now. Wow, demikian diktatornya.
Ada apa di balik sikap politik yang sangat paradoks dengan demokrasi itu? Kiranya, publik paham. Arogansi kekuasaan itu tak jauh dari artikulasi keinginan ambisiusnya untuk terus berkuasa. Tidak puas hanya dengan dua periode. Karenanya berusaha memperpanjang masa jabatannya dengan menambah periode: bisa satu periode lagi. Bisa beberapa periode dan akhirnya presiden seumur hidup. Persis mengulang era Orde Baru dan Orde Lama. Sebuah pertanyaan awal yang mendasar, tidak tahukah bahwa persoalan masa jabatan presiden – berangkat dari trauma politik masa lalu – telah dibatasi maksimal dua periode (Pasal 7 UUD NRI 1945) yang telah diamandemen itu? Sangatlah mustakhil jika tak tahu konstitusi itu. Tapi, mengapa masih tetap ngotot memperpanjang masa jabatannya?
Di mata rezim ambisius, amandemen konstitusi yang diilhami semangat reformasi 1998 adalah produk manusia. Tidak abadi sifat perubahannya. Karena itu masih ada kemungkinan Pasal 7 UUD NRI 1945 itu diamandemen lagi. Dan pintu masuknya tersedia: membuka ”kotak Pandora” Pasal 37 UUD NRI 1945. Inilah yang mendorong rezim – melalui para anteknya di berbagai arena, termasuk lembaga-lembaga survey dan intelektual “pesanan” – terus menghembuskan isu perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Penggalangan opini secara massif diharapkan akan membuka hati rakyat dan seluru elitisnya bisa memahami urgensi keinginan perpanjangan masa jabatan presiden, khususnya.
Dengan kekuatan pengaruh politiknya di parlemen – setidaknya tujuh fraksi DPR RI yang telah terkooptasi – maka, secara matetamatis, komposisi suara parlemen akan tunduk pada kemauan sempit sang rezim. Bisa dibayangkan, dari 575 kursi DPR RI, yang berpotensi menolak hanya 101 kursi (Fraksi PKS dan Demokrat). Dan dari 136 kursi DPD RI, sebagian besar berpotensi bisa dipengaruhi, meski para pemimpin DPD khususnya sudah menunjukkan sikap politik “tak akan berkompromi” tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Dalam berbagai kesempatan terbuka, sejumlah pimpinan DPD RI siap menjadi garda terdepan untuk memimpin aksi penolakan perpanjangan masa jabatan presiden.
Idealita politik DPDRI layak menjadi perhatian khusus berbagai elemen bangsa. Untuk bersama-sama menggalang kekuatan politik kontra masa jabatan presiden yang diperpanjang. Meski demikian, realita politik dinamis. Totalitas komposisi suara parlemen yang terhimpun di MPR itu – secara matematis-komparatif – dapat dijadikan acuan sikap politik rezim untuk memperkuat optimisme menuju amandemen kelima dengan agenda utama mengembalikan Pasal 7 UUD NRI 1945 seperti sebelum refomasi. Sebuah sikap politik ketatanegaraan yang benar-benar mengkhianati perjuangan mahasiswa dan elemen publik lainnya yang searah dengan cita-cita Reformasi 1998 yang berdarah-darah itu.
Gagasan lebih dari dua periode untuk masa jabatan presiden-wakil presiden sungguh kencang dihembuskan ke ruang publik. Namun, sejak Fraksi PDIP menunjukkan penolakannya, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden “lebih dari dua periode” memudar. Perlu kita telisik, apakah PDIP menolak karena gagasan itu menabrak konstitusi? Publik sangat paham: PDIP punya kader yang siap dikontestasikan pada perhelatan pemilihan presiden pada 2024. Seperti ada sikap “now or never”. Saat ini (tahun 2024), mumpung Megawati masih punya kendali kekuasaan atas partainya. Karena itu hanya ada satu kata: now. Pasca 2024, wallahu`alam nasib politiknya. Karenanya, tak perlu bicara nanti, yang – boleh jadi – tak akan ada lagi peluang itu. Sejalan dengan sikap politik PDIP, Gerindra yang juga sama-sama punya kader terbaiknya menolak gagasan dua periode itu.
Perlahan tapi pasti, gagasan ambisius yang berusaha memperpanjang masa jabatannya (dua periode) lenyap. Bak ditelan bumi. Lalu, apakah benar-benar hilang keinginan memperpanjang kekuasaan itu? Data yang bergulir sedikit bergeser. Bukan lagi bicara isu lebih dari dua periode, tapi masa jabatan yang diperpanjang dan masih dalam periode kedua ini. Cukup ”lincah” memang gagasan ini. Seperti tak kenal menyerah. Para aktor desainernya tak kehilangan akal untuk “mengulik-ulik” pemikiran trickynya. Yang perlu dicatat, para pihak yang diuntungkan dari gagasan itu bukan hanya presiden-wakil presiden, tapi kalangan parlemen (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota dan DPD RI) ikut menikmati hasil perpanjangan masa jabatan dalam masa periode ini. Kenikmatan tanpa kontestasi juga bisa dirasakan oleh seluruh kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) yang masa jabatannya harusnya berakhir 2023 dan 2024.
Discussion about this post