IKLAN

Opini

Mempertahankan Aceh Dalam Pangkuan NKRI

382
×

Mempertahankan Aceh Dalam Pangkuan NKRI

Sebarkan artikel ini

Oleh: Farhat Abbas

MEMBANGUN secara berkeadilan yang sesuai qanun (syariah Islam), itulah jawaban konkret dari kehendak yang diidamkan masyarakat Nangroe Aceh Darussalam. Status otonomi khusus daerah Aceh yang tertopang dengan UU 18 Tahun 2001 ini tak berarti secara fungsional jika tak dibarengi perhatian khusus Pusat. Bentuknya jelas: alokasi anggaran negara (APBN) secara rutin dalam terminiloigi khusus untuk daerah istimewa seperti Papua dan Papua Barat. Hal ini merupakan bagian dari refleksi keadilan terhadap Aceh yang tertinggal sekian lama akibat konfliktualitas berkepanjangan masa lalu.

Kini, status keistimewaan daerah Aceh yang bekonsekuensi secara finansial itu dipersoalkan, apakah tetap dilanjutkan, atau dihentikan. Persoalan ini sejalan dengan alokasi anggaran khusus untuk daerah istimewa Aceh ralatif belum mencerminkan derap pembangunan sebagaimana idealnya. Data keuangan negara menunjukkan, Aceh telah menerima dana otsus Aceh dari 2008 – 2018 mencapai Rp 64,97 trilyun. Terjadi peningkatan alokasi sebesar 8,58% eprtahun. Dana sebesar ini harusnya mampu membangkitkan roda pembangunan. Ketika terjadi derap pembangunan, maka level kesejahteraan masyarakat Aceh tidak lagi dalam kategori tertinggal. Namun, fakta menunjukkan, potret kemiskinan Aceh, per Maret 2021 – menurut BPS – mencapai 15,43% dari total penduduk yang berjumlah 5,27 juta jiwa. Dengan prosentase tersesbut, Aceh terkategori termiskin di Pulau Sumatera. Peringkat kedua kemiskinan “diraih” Sumatera Selatan dengan skor 14,99%.

Potret ketertinggalan sosial-ekonomi masyarakat dan daerah Aceh itu menimbulkan pertanyaan: mengapa kemiskinan masyarakat Aceh masih harus terjadi? Mengapa daerah Aceh relatif tertinggal di banding daerah-daerah lainnya? Adakah penyimpangan dan atau penyalahgunaan anggaran negara? Atau terjadi mismanagement dalam tata-kelola pembangunan?

Sejumlah pertanyaan kritis itu mendorong sebagian warga Aceh menilai bahwa dana otonomi khusus (otsus) yang bernilai triyunan itu hanyalah menjadi bancakan. Hanya berputar di level elitis penyelenggara pemerintahan daerah dan membiarkan atau tak mau tahu tentang nasib rakyat Aceh yang merana karena beban ekonomi. Cara pandang inilah yang membuat di antara mereka menegaskan sikap: penghentian dana otsus relatif lebih baik. Mengurangi praktik korupsi, yang hanya membuat kecemburuan sosial.

Baca:  Dialog Sebagai Alat Koordinasi dan Antisipasi Potensi Kerawanan Sosial Politik

Namun demikian, sikap politik (penghentian kucuran dana otsus) juga berpotensi besar untuk memandegkan derap pembangunan. Sangat terbuka kemungkinan, tingkat kemandegannya melampaui batas, sehingga akumulasi persoalannya bisa membesar. Jika hal ini dibiarkan, maka ketertinggalan ekonomi masyarakat yang demikian curam itu bisa dijadikan pintu masuk untuk menggosok masyarakat. Krisis sosial-ekonomi yang melanda masyarakat Aceh bagai rumput kering yang mudah terbakar ketika tersiram bensin oleh para pihak yang memang menghendaki kekacauan serius di tengah Aceh.

Perlu kita catat, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih potensial bangkit kembali. Potensi destruktif ini haruslah ditutup rapat. Langkah taktisnya simple: tetap mempertahankan perhatian khusus atas status otsus Aceh, sembari tetap menerapkan hukum jika terjadi penyalahgunaan kewenangan yang bersifat koruptif. Sebuah tamsil, jika di lumbung padi terdapat tikus, maka untuk menangkap tikusnya tidaklah harus membakar lumbungnya. Tetap harus berpikir cerdas dan bertindak jernih dalam menenegakkan hukum.

error: Content is protected !!