Gorontalo sebesar 17,17 persen urutan ke-2 provinsi di pulau Sulawesi (urutan ke-10 secara nasional, red), disusul Sulawesi Tenggara sebesar 17,15 persen (urutan 11 nasional), Sulawesi Utara 16,92 persen (urutan 13 nasional), Sulawesi Barat 15,38 persen (urutan ke-18 nasional).
Yahdi pun menyimpulkan, berdasar data-data tadi maka Pemprov Sulteng selama ini kurang memprioritaskan urusan pendidikan yang sesungguhnya adalah urusan wajib terkait pelayanan dasar.
Sementara itu, anggaran pendidikan yang disampaikan oleh paslon nomor urut 1, Hidayat-Bartho sebesar 37,72 persen kata Yahdi, karena memasukkan segmen gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, yang besarnya kurang lebih 23,15 persen atau sebesar Rp1,025 triliun.
Ini justru sebut Yahdi argumentasi normatif yang tidak solutif secara politis. Karena segmen gaji dan kedinasan itu nyata sebagai sesuatu yang melekat dalam komposisi penganggaran dan tidak bersentuhan langsung dengan kreatifitas dan inovasi perbaikan praktek dan layanan pendidikan kita.
Apalagi jika kita komitmen pada misi “Sulteng berdaya saing dan sejajar dengan provinsi Lainnya”.
“Coba deh, tanya Kepala Dinas Pendidikan Sulteng, benarkah anda kelola dana 1 triliun lebih tahun 2020,” saran Yahdi.
Akibat dari kecilnya alokasi anggaran pendidikan Sulteng yang hanya 9,07 persen itu, maka terdapat sejumlah fakta yakni pertama, kekurangan guru SMK sebanyak 2.171 orang, dan guru SMA sebanyak 983 orang. Kedua, ruang kelas yang rusak berat dan sedang 506 ruang kelas, tidak bisa diselesaikan.
Dampaknya, potensial kinerja pendidikan Sulteng sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya indikator kinerja pendidikan yaitu angka rata-rata lama sekolah hanya 8,75 tahun atau belum tamat SMP.
“Bagaimana mungkin paslon nomor urut 1 programkan wajib pendidikan 12 tahun (SMA/SMK). Sementara pendidikan dasar 9 tahun (tamat SMP) saja belum tercapai,” tanya Yahdi.
(*/yan)
Discussion about this post