Oleh: Ama Gaspar
SEBUAH pesan mengetuk di Whatsapp, 9 Maret 2023, pukul 22.44 Wita. Saya terduduk dan mulai menangis. Pesan dari Ita Ibnu itu mengabarkan kepergian Lily Yulianti Farid—Kak Lily kami menyebutnya—telah pergi dengan tenang. Saya membuka pesan lainnya, semua dimulai dengan kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.”
Kak Lily “menemukan” saya. Ia juga menemukan kawan-kawan saya yang lain. Barangkali perasaan ini juga mewakili kawan-kawan sesama Emerging Writers Makassar International Literary Festival. Sebagai perempuan yang tumbuh di kota yang jarang didengar namanya ini, saya beruntung mengenal dan belajar banyak dari Kak Lily.
Tahun 2014 menjadi tahun baru bagi diri saya. Berawal dari sebuah telepon, sebuah panggung, sebuah kesempatan, yang berlanjut menjadi kolaborasi-kolaborasi, saya mengenal Kak Lily dan nyala semangatnya.
Berangkat dari banyak ketidakhadiran negara di Indonesia bagian timur, beberapa orang mengambil inisiatif untuk menjadi hadir, menjadi ada. Salah satunya kehadiran MIWF yang diinisiasi Lily Yulianti Farid. Menghadirkan suara-suara dari timur, menggemakannya dari selatan Sulawesi. Sejak MIWF hadir, sebagai pembaca saya merasakan aura baru dalam perbukuan dan deret nama penulis Indonesia. Saya mengenal Aan Mansyur, membaca puisi-puisi Mario Lawi, mengoleksi novel Faisal Oddang, membaca Banggai lewat prosa Erni Aladjai, dan penulis-penulis MIWF lainnya.
Ada nama-nama baru di deret nama penulis Indonesia, ada kisah-kisah baru di antara kisah-kisah yang telanjur melekat dalam kepala kita. Ada Sawerigading menyeruak di antara kisah-kisah pop. Ada puisi-puisi biblikal yang memesona hadir di antara ramainya sajak-sajak Jokpin. Ada yang terdengar, setelah sekian lama tidak didengar. Bagi saya ini lahir dari harapan Kak Lily; agar keterbacaan karya anak-anak muda di Indonesia bagian timur bisa diakses lebih banyak orang.
Harapan itu dirawat Kak Lily dengan serius. Ia mengesampingkan banyak hal, agar harapan itu tumbuh menjadi suara nyaring yang semakin sering terdengar; agar ekosistem penulis dan pembaca semakin ramai; agar (mungkin) ada yang menduplikasi nyala semangat dan gerakannya.
Tak mudah merawat harapan, tetapi Kak Lily “memberi dirinya” untuk ini semua. MIWF (Makassar International Writers Festival) yang digagasnya, memenangkan The Literary Festival Award 2020 di London Book Fair. Dalam nominasinya, MIWF bersaing dengan Book Arsenal Literature Festival (Ukraina) dan International Literature Festival Utrecht (Belanda).
Berkunjung ke MIWF lagi tahun 2018, kami bertemu Kak Lily dan beberapa kawan lain. Ia bercanda. “Ayo ajak saya ke Banggai.” Saya mengangguk, memastikan kehadirannya di Banggai tahun berikutnya. Malam itu, malam penutupan. Saya menangis, mendengar perempuan kuat itu berbicara di atas panggung MIWF. Kak Lily berbicara banyak hal, termasuk tentang ruang besar yang diberikan suaminya, Farid Ibrahim.
Jika ingatan saya tidak salah merekam, Kak Lily mengatakan keleluasaan yang diberikan Pak Farid untuknya. “Kau keluar saja, menanam bunga-bunga dan membangun taman-taman, biarkan saya di rumah kita. Menghangatkan dapur dan cinta kita.”
Kak Lily memang memekarkan bunga-bunga dan membangun taman-taman lewat tangannya yang telaten dan harapannya yang tak pernah redup. Tak bisa disangkal MIWF menjadi pemantik gerakan serupa di berbagai kota. MIWF yang berdiri di atas fondasi kesetaraan, memberi ruang banyak untuk penulis-penulis Indonesia bagian timur, juga perempuan dan kawan penyandang disabilitas.
Discussion about this post