Reporter Naser Kantu
JAKARTA – Beberapa waktu terakhir, dunia penegakan hukum Indonesia dihentak oleh pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Dari mulai pelaksanaan pemberian keadilan restoratif ( Restoratif Justice ) di Kejari Cimahi, hingga wacana perluasan penerapan RJ dan penyelesaian tipikor dengan kerugian keuangan negara paling banyak senilai 50 juta.
Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai bahwa wacana yang digulirkan Jaksa Agung terkait keadilan restoratif, sangatlah menarik.
Suparji mengapresiasi karena wacana tersebut mampu menjelaskan pergeseran pemikiran praktisi hukum yang ingin lepas dari belenggu pemikiran legisme (positivisme) yang memandang hukum hanyalah sebagai aturan perundang-undangan.
Sementara nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari hukum hanya tercermin dari penegakan hukum tertulis sebagaimana bunyi undang-undang.
“Pemikiran Jaksa Agung kini telah mengisyaratkan pergeseran dari legisme menuju pemikiran hukum realisme. Pemikiran hukum realisme memandang bahwa hukum bekerja tidak sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan, hukum itu merupakan manifestasi simbolik para pelaku sosial. Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat non doktrinal artinya bsrdasarkan penilaian atas prilaku masyarakat secara nyata,” kata Suparji dalam keterangan persnya.
“Selain itu, pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang hukum itu ada demi kemanfaatan bersama masyarakat. keadilan restoratif (RJ) secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi. Dan saat ini Jaksa Agung mencoba mengaplikasikannya,” sambungnya.
Ia memaparkan, penyelesaian perkara pidana melalui instrumen RJ ini adalah berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan atau penuntutan seperti konsep dalam KUHAP.
Penerapan RJ lebih ke perkara pidana yang secara hukum positif (legisme/positivisme) telah lengkap untuk persidangan pidana, dan akan ada pengambilan keputusan oleh hakim.
Discussion about this post