Oleh: Lili Haryani D Aluano
IKLIM merupakan salah satu permasalahan serius di negara Indonesia. Isu mengenai iklim ini merupakan salah satu isu krusial yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia yang mana emisi karbon dari gas rumah kaca menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global.
Dunia globalpun dapat merasakan dampak dari adanya perubahan iklim yakni menimbulkan pola cuaca yang menyebabkan terjadinya bencana alam. Atas dasar banyaknya dampak dari perubahan iklim tersebut maka PBB kemudian mengadakan pertemuan di Paris pada saat berlangsungnya COP – 21.
Dalam pertemuan ini kemudian menghasilkan paris Agreement yakni Perjanjian ini sendiri berisi komitmen setiap negara untuk dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca tidak lebih dari 2oC dan menjaga kenaikan suhu global tetap berada dibawah 1,5 o C. Sejak 12 Desember 2015 hingga 19 Januari 2018 terdapat 172 negara yang meratifikasi Paris Agreement.
Perjanjian ini berlaku efektif pada tanggal 4 November 2016 serta memuat Nationally Determined Contribution (NDC) dimana setiap negara berkomitmen untuk dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca.
Melalui Paris Agreemnt, salah satu pasal perjanjian memuat mengenai perdagangan karbon yakni pada pasalnya yang ke 6. Dalam ayatnya yang ke 3, pasal 6 ini sendiri memuat mengenai ” Penggunaan hasil mitigasi yang ditransfer secara internasional untuk mencapai kontribusi yang ditetapkan secara nasional dibawah persetujuan ini wajib bersifat sukarela dan disahkan oleh pihak yang berpartisipasi ” Dari hal ini kita dapat melihat bahwa Pasal yang ke -6 ini sendiri menetapkan platform perdagangan karbon baru yang sentralistik, Substainable Development Mechanisme (SDM) dan memungkinkan para pihak untuk mengejar Cooperative approaches dengan secara sukarela menggunakan International Transferref Mitigation Outcomes (ITMOs).
Pada ayatnya yang ke- 4b sendiri memuat mengenai kewajiban dari setiap actor yang terlibat yakni ” untuk memberikan insentif dan memfasilitasi partisipasi dalam mitigasi emisi gas rumah kaca oleh badan publik dan swasta yang diberi kewenangan oleh suatu pihak ” . Posisi dari negara maju adalah berkewajiban untuk dapat memberikan insentif atau bantuan baik itu melalui dana maupun trasfer teknologi kepada negara berkembang untuk membantu mencegah emisi karbon tersebut.
Perdagangan Karbon yang telah diratifikasi oleh Indonesia ini kemudian di muat dalam Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021. Bukan hanya hal tersebut tetapi Negara Indonesia sendiri menyatakan komitmennya dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) mengenai perubahan iklim bahwa Indonesia berkomitmen untuk dapat mencapai pengurangan emisi GRK 31, 89 % dari Pemerintah dan dari mitra asing 43,20 %.
Isu ini memang sangat menarik untuk dibahas mengingat bahwa negara Indonesia memanglah memiliki wilayah hutan yang sangat luas yakni 128 juta ha. Terdapat banyak permasalahan dalam hutan Indonesia hal ini dapat dilihat dari pengalihan fungsi hutan lindung menjadi industri, permasalahan lahan gambut, terjadinya kebakaran hutan memang menjadi permasalahan yang memicu adanya emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan laporan Second National Communication (SNC, 2010), Indonesia menjadi negara pengemisi karbon, yang menyebutkan bahwa emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (termasuk emisi dari kebakaran gambut) berkontribusi sebesar 60% dari total emisi pada tahun 2000.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil analisa pada 1 st Biennial Update Report (BUR, 2015) yang menyatakan bahwa emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya menyumbang sebesar 48% pada tahun 2012. Puncaknya pada tahun 2015, emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya berkontribusi sebesar 63% dari total emisi.
Tetapi pada tahun 2016, emisi dari sektor Kehutanan dan penggunaan lahan lainnya dapat diturunkan sehingga menjadi 41,8% dari total emisi. Hal inilah yang menyebabkan perubahan status Indonesia dari penyimpan karbon ke emiter terutama disebabkan perubahan dari emisi dan serapan karbon pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini memberikan pengaruh yang besar dalam total emisi GRK di Indonesia.
Jika dilihat, ratifikasi dari Paris Agreement ini sendiri dapat membantu Indonesia dapat mengatasi permasalahan lingkungan dan juga ekonominya. Kita tau bahwa isu lingkungan merupakan isu soft power yang akan menjadi kelas kedua jika berkaitan dengan isu ekonomi.
Oleh karena hal tersebut, paris Agreement ini memuat perjanjian bahwa Negara maju dapat membantu Negara berkembang dalam emisi karbon baik melalui transfer teknologi ataupun melalui pendanaan. Dengan hal ini, Indonesia kemudian ikut meratifikasi perjanjian Paris Agreement khususnya article 6.
Potensi Negara Indonesia dengan meratifikasi Paris Agreement article 6
Negara Indonesia sendiri diprediksi pada tahun 2020 dapat berpotensi menaikan perekonomiannya mencapai 350 triliun pada lima tahun mendatang.
Hal ini mengingat bahwa skala dan pentingnya proyek NBS dalam menyerap karbon serta sebagai penyeimbang untuk pasar karbon yang efisien, potensi pemasaran, perdagangan dan penjualan kredit karbon menjadi kunci dalam perkembangan pasar karbon Indonesia dimasa mendatang.
Posisi negara Indonesia dalam Perdagangan Karbon adalah sebagai credit karbon yakni negara Indonesia secara sukarela mengikuti perdagangan karbon yang akan menjual sertifikasi karbon kepada negara maju.
Discussion about this post