Oleh: Aswan Ali, S.H
“PAK BUPATI Amirudin itu kira-kira mau ikut calon pilkada lagi atau tidak?”, tanya Pengojek saat mengantarkan saya ke tempat tujuan. “Wah, terserah dia mau maju lagi atau tidak pada pilkada 2024 nanti”, jawab saya sekenanya. “Memang terlalu bodoh masyarakat kita kalau masih mau memilih dia lagi,” balas si tukang ojek, ketus.
Bincang-bincang saya dengan tukang ojek dalam perjalanan itu terhenti setelah kami tiba ditempat tujuan. Namun karena tergoda rasa penasaran, saya kemudian mengajak dia ngobrol di Warkop Saluan. Irama lagu pop daerah Saluan-Balantak langsung menyergap kehadiran kami berdua di cafe langganan nongkrong anak-anak babasalan itu.
Setelah memesan dua gelas kopi dan gorengan pisang louwe, lalu saya menanyakan asal si tukang ojek yang berpenampilan agak dekil, itu. Tak disangka, katanya, dia berasal dari Balantak.
Karena merasa sama-sama senasib dari wilayah yang termarginalkan kebijakan pembangunannya itu, saya kemudian melanjutkan obrolan memakai bahasa Balantak.
“Beh, daamo uga ko AT, sianta aupa hasilna men nipiile sampe ilio kanii”, kata Pengojek dengan dialeg Balantak tulen, menjawab pertanyaan saya. Artinya, kata dia, sudah saja kau AT (maksudnya, Bupati Amirudin Tamoreka), tidak ada juga hasil (pembangunan) yang kelihatan sampai hari ini.
Meskipun saya sepakat dengan curhatannya itu, namun saya agak tercekat. Kaget mendengar pengakuan polosnya. Hidangan kopi dan pisgor louwe datang menemani percakapan kami berdua. Ya, percakapan tentang nasib wong cilik yang tergilas retorika culas sang penguasa. Retorika mengumbar janji. Sekadar pemberi harapan palsu.
Matahari senja perlahan beranjak ke peraduannya, turut pula menyaksikan pergulatan batin kami yang didera rasa kecewa. Ya, kecewa terhadap kebijakan pembangunan pemerintahan Bupati Amirudin yang tak kunjung menyejahterakan rakyat kecil.
Ribuan miliar uang dari hasil memeras keringat rakyat, ataupun dari pajak hasil mengaduk-aduk isi pertut bumi telah melayang dan menguap. Entah pergi ke mana?
Para petugas hanya bisa mencatat pengeluaran untuk belanja ini dan belanja itu. Seraya melaporkan ke meja dan lemari birokrasi. Serta kepada para wakil rakyat di Teluk Lalong yang hanya bisa manggut-manggut memberi persetujuan.
Sementara saudara-saudariku sesama warga Balantak dan Saluan, sebagian lagi terpuruk disudut-sudut kampung, di negeri sendiri. Mereka hanya bisa termangu-mangu menatap wajah bulan yang pucat ditelan cakrawala senja. O, Naung, Babo, Tatu, Udu, utus-utusku apakah perutmu hari ini sudah terisi beras?
Adakah saku bajumu atau kantong celanamu berisi rupiah dapat menjangkau harga beras yang melambung tinggi diterpa badai inflasi? Sampai-sampai Bupati Amirudin mendapat apresiasi lalu diundang bercengkerama ke Istana Negara? Atau bertamasya ke Markas PBB di New York, Amerika Serikat?
Ataukah hari ini perutmu hanya bisa disumpal rebusan bete, ubi kayu, atau buah pisang kurus yang miskin humus tanah? Karena pupuk semakin langka dan tak terjangkau harganya oleh para petani, (dan Menteri Tito Karnavian pun hanya bisa prihatin didepan para petani Mantawa, sambil memanen padi sawah, sambil pula memberi suport pada Bupati Amirudin yang lagi-lagi dan lagi berjanji akan membangum pabrik pupuk).
Oh, Igo ! Oh, Udu ! Apakah air susumu hari ini bisa mengalirkan asupan gizi ke perut bayi-bayimu sehingga masa depan negeri ini tak terancam jatuh ke tangan generasi stunting yang bakal hanya menjadi kacung diujung telunjuk oligarki bermata sipit?
Ah, untuk apa bertanya. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya membentur tembok-tembok angkuh birokrasi di puncak Bukit Halimun. Didalam gedung-gedung yang berdiri congkak itu, sambil diterpa angin dingin yang dihembuskan dari mesin-mesin ber-AC, mereka bekerja toh atas perintah Bupati Amirudin. Tak pandang etika ataupun moral.
Duit bermiliaran rupiah pun bisa mengalir masuk ke kantong pribadi keluarga Bupati Amirudin, pemilik PT. King Ameer Entertainment. Meski sebagai pemenang tender sewa menyewa peralatan sound system plus penerangan untuk hajatan MTQ Provinsi Sulteng di Luwuk, selang sepuluh hari, Juni setahun lalu. (Banggai.Com, edisi 30 Juni 2022).
Pun tak peduli mendengar ratapan warga dibelahan wilayah lain daerah ini yang saban hari masih berkeluh kesah soal listrik yang selalu padam.
Justru dikala warga sedang berhajat makan sahur ataupun berbuka puasa. Atau, disaat ikan hasil tangkapan para nelayan sedang membutuhkan es untuk pengawet.
Discussion about this post