Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
ERA orde baru dan era reformasi tidak akan melupakan nama besar Amien Rais. Ia adalah salah satu inisiator dan konseptor paling dominan dan paling berpengaruh terhadap runtuhnya kepemimpinan Soeharto Tahun 1998.
Dari Sabang sampai Merauke mengelu-elukan nama nya sebagai tokoh referomasi terbaik mengalahkan Gus Dur, Megawati dan lainnya.
Nama besar Amien Rais dinilai publik paling kritis, paling berani dan paling lantang menyuarakan reformasi politik dan reformasi kepemimpinan yang menumbangkan orde baru yang berkuasa hampir seperempat abad.
Kejujuran dan integritas Amin Rais masih tersisa hingga saat ini, namun semua ambisi, cita-cita dan harapan Amin Rais untuk memimpin Indonesia gagal total.
Publik Indonesia masih mengingat di awal tahun 1999, ketika reformasi kepemimpinan sedang bergulir, Amin Rais dan kawan-kawan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai tersebut hanya memberikan kontribusi kepada Amin Rais menjadi Ketua MPR.
Banyak variabel dan faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku Publik untuk tertarik dan tidak tertarik kepada seorang figur apalagi figur calon Presiden.
Antara dasein dan dasolen politik di Indonesia tidak selalu bersifat linear, saat kampanye jutaan lautan manusia membanjiri pidato dan kampanye Amien Rais, tetapi kenyataan nya Suara Amien Rais di kalahkan oleh SBY.
Kondisi itupun berulang pada Pilpres 2009, dimana performance SBY masih mengungguli capres lainnya termasuk Amien Rais.
Secara Politik, Orang yang jujur, lurus, berani dan memiliki Leadership tingkat tinggi tidak selalu disukai publik, karena ada berbagai faktor dan variabel yang tidak kelihatan, justru mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih di Indonesia.
Relegius Versus Nasionalis
Apa kekurangan Prabowo pada Pilpres 2019? Pertanyaan ini sering mencemaskan dan menggalaukan kelompok dan komunitas relegius (Islam).
Seperti tidak masuk di akal Prabowo yang diatas kertas telah didukung oleh ummat Islam dapat dikalahkan oleh Jokowi yang didukung kelompok Nasionalis, yang saat kampanye tidak se ramai kampanye Prabowo.
Ini pun mengingatkan kita akan syndrom Amin Rais, pada awal tahun 1998 – 1999, dimana ia digadang dan di eluk-elokan oleh publik yang menginginkan perubahan.
Semua menjadi sirna, karena mayoritas ummat Islam yang jumlahnya ratusan juta itu justru memilih capres dari kelompok nasionalis.
Sedikit kita review akan sejarah perjalanan bangsa ini sejak awal kemerdekaan. Dimana Kelompok-kelompok Islam selalu kalah bahkan mengalah kepada kelompok nasional, dan rela mengorbankan harga diri dan kehormatan hanya untuk tegaknya Persatuan Indonesia.
Ada semacam keraguan politik publik bahwa bila Calon Presiden dari kelompok relegius, akan mengancam Persatuan dan Kesatuan Bangsa, yang sebenarnya argumentasi ini salah dan sangat menyesatkan.
Tetapi realitas politik hingga hari ini masih mempertentangkan antara nasionalis dan relegius bahkan saling mengklaim bahwa nasionalis lebih Pancasilais dari pada relegius, dan kelompok relegius menjustice bahwa justru yang paling banyak melanggar Pancasila dan UUD 45 adalah kelompok nasionalis.
Diskursus nasionalis vs relegius hingga hari ini masih banyak mempengaruhi sikap dan perilaku Politik publik.
Tiga Pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilu 2024 menggabungkan keterwakilan nasionalis dan relegius, seperti Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, tidak untuk Prabowo-Gibran yang merupakan keterwakilan kelompok Nasionalis.
Secara Politik, Prabowo-Gibran murni merupakan keterwakilan kelompok nasionalis, dan pasangan ini sangat percaya diri karena diatas kertas mendapat dukungan dari sebagian besar ummat Islam.
Mayoritas publik mempertanyakan apakah Prabowo – Gibran dapat memenangkan Pilpres 2024 ? bahkan memenangkan satu putaran.
Sekalipun sambutan publik kepada pasangan ini sangat dingin, tetapi sebagian besar lembaga survei di Indonesia masih mengunggulkan Prabowo – Gibran yang elektabilitasnya hampir 40 % mengalahkan Anies dan Ganjar Pranowo.
Discussion about this post