Oleh: Muhadam Labolo
Bagaimanakah memahami jalan pikir tetua bangsa dengan konteks Indonesia dewasa ini, penting menjadi refleksi di tengah perdebatan isu sensitif tentang idiologi & sistem politik-pemerintahan. Saya pikir ini bukan perdebatan panjang dan pertama kali, sejak lama para _founding fathers_ mendiskusikan hal serupa. Kalau kita baca literatur sejarah pendirian Indonesia, dialektika mereka telah menyentuh apa yang menjadi topik diskursus kita hari-hari ini. Baca misalnya _Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila_ (Yudi Latif, 2011).
Bahwa kemudian para tetua bangsa membentuk negara dengan sistem politik dan pemerintahan sedemikian rupa tentu dengan proses perdebatan yang sengit, bukan _sim salabim abrakadabra_ atau lewat _whats up_ group yang terbatas _margin_ nya. Mereka membawa konsep, bukan sekedar datang dan tanda tangan absen lalu tidur diruangan ber-AC. Puncaknya adalah jalan tengah dengan apa yang kita sepakati sebagai _philosofische grondslag_ (Pancasila), bagi mekanisme sistem apapun yang akan kita bangun di kelak hari. Kalau kita sepaham bahwa Pancasila adalah saripati dari esensi semua agama, maka menurut logika jamak tidak ada problem dari sisi itu. Lalu dimana masalahnya?
Sejauh pemahaman saya dengan literatur yang tersedia (termasuk membandingkan sebab-sebab keruntuhan sistem khilafah), problem dasarnya pada semua sistem politik itu berada ditingkat implementasi. Faktanya, sistem apapun yang kita gunakan sepanjang prakteknya konsisten dengan idiologi dimaksud tidak ada masalah. Di tahun 80an sejumlah pengamat menilai bahwa sistem politik otoriter akan rontok dengan sendirinya, dimulai dari _collaps_ nya idiologi sosialis-komunis. Pemandangan hari ini Rusia, China, Korea Utara tetap eksis dengan janji pengendalian kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi relatif stabil.
Disebaliknya, sebagian pengamat optimis bahwa demokrasi menjanjikan pertumbuhan yang lebih baik, tapi India bahkan Uni Soviet yang mencoba bermetamorfosis ke demokrasi digambarkan Ryaas Rasyid dalam orasi ilmiahnya tak menunjukkan kearah yang lebih baik, hancur berkeping-keping di Semenanjung Balkan. Artinya, sosialis-komunis dapat tumbuh relatif baik, disamping demokrasi yang terlihat gulung tikar. Jangan lupa, banyak pula negara demokrasi _survive_ di eropa, juga sosialis yang _down_ seperti kasus dibeberapa negara Amerika Latin. Dalam diskusi pendek dengan Prof. Talizi dan Prof. Ryaas di tahun 2009, hampir tak ada korelasi antara perubahan sistem dengan soal kesejahteraan. Amerika pun berada ditengah krisis demokrasi pasca terpilihnya Joe Bidden versus Donald Trumph.
Apakah negara dengan model teokrasi menjanjikan hal yang lebih baik? Secara teoritik dan historis, boleh jadi. Namun secara universal intinya tak beda dengan sistem lain, sebab sistem lain pun pada dasarnya esensi idiologinya diperas dari religi. Realitas menunjukkan berdasarkan sejumlah penelitian bahwa religiusitas tak banyak menyokong kemajuan suatu bangsa, mereka masih berkutat dengan masalah korupsi, perilaku opresif, ketidak-adilan, ketidak-bebasan, hilangnya dialog dan rekonsiliasi (Askari & Rehman, Global Economy Journal, Universitas Goerge Washington, 2014. Bandingkan juga Ali & Ardiputranto, 2020).
Kembali problem dasarnya pada soal bagaimana penerapan suatu idiologi dalam sistem yang sesuai kebutuhan masyarakat. Kita boleh sepakat pada rujukan kitab yang sama, kenyataannya tafsir atas teks diberbagai wilayah tampak beragam sehingga hukum positif yang ditarik dari kitab yang sama itu menjadi berwarna ditingkat praksis. Artinya bergantung siapa pemegang otoritas agama dan kelompok penafsir paling _shohih_ yang akan dirujuk (lihat Arab Saudi, Maroko, Sudan, Brunai, dll).
Disini kita dapat memahami jalan pikir para pendiri bangsa, apalagi teks-teks dalam kitab suci tak mewajibkan soal model macam apa yang mesti kita bentuk sebagai satu negara ideal, semua bergantung konsensus (Islam, musyawarah, Ali Imran, 159). Secara historis dapat kita bandingkan dengan kebangunan Madinah sebagai _state_ sekalipun jumlah muslim dimasa itu justru minoritas. Itulah mengapa konstitusi Madinah tak dibangun berdasarkan agama tertentu, tapi didasarkan pada esensi agama keseluruhan, yaitu representasi Islam, Yahudi, Nasrani, & Majusi.
Kalau kita bandingkan historisitas Piagam Madinah memiliki _setting_ yang mirip dengan Inggris, Amerika dan Indonesia. Ketika Magna Charta dikonstruksi pada 1215, dia dibentuk berdasarkan esensi agama yang paling dasar lalu dirasionalisasi kedalam konstitusi. Intinya pembatasan kekuasaan, sebab agama apapun mengajarkan agar kekuasaan tak _dzolim_ dan perlu dikendalikan. Kasus Indonesia pun relatif tak berbeda jauh. Piagam Jakarta dibentuk sedemikian rupa hingga mengalami rekonstruksi melahirkan apa yang kini kita sepakati.
Bahwa kemudian di setiap rezim pemerintahan menafsirkan berbeda dan semakin jauh dari kesolehan Pancasila dan UUD 45, itu kita sadari. Sebab itu, semua praktek pengembangan sistem politik-pemerintahan yang bertolak-belakang dengan spirit _weltanshauung_ dalam prakteknya perlu dikontrol, dirujuk kedalam konstitusi dan dibagi (Foucalt). Kita pun tak menolak jika sejumlah sistem yang bertentangan perlu diubah dan direvisi, tapi bukan dengan mengganti seluruh artefak pemerintahan menjadi sistem khilafah, dengan alasan semua masalah akan berakhir dengan sendirinya.
Mengganti sistem politik dan pemerintahan secara revolusioner tidak serta-merta menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi, sebab kita berada dalam realitas Indonesia yang padat kemajemukan, dipenuhi manusia dengan ragam _socio-cultural_ nya, bukan mayoritas malaikat yang dimoderatori Tuhan. Andai semua manusia adalah malaikat, mungkin kita tak butuh pemerintahan. Maknanya, apapun model pemerintahan yang kita sepakati sejauh ini, hadir karena ada manusia, dan harus dikelola dengan cara manusia, bukan dengan cara setan, bukan pula dengan cara malaikat, begitu kata James Madison, mantan Presiden Amerika keempat. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post