Kolom Syarif

Belajar dari Kasus SYL: Syarat Makna Kehidupan

509
×

Belajar dari Kasus SYL: Syarat Makna Kehidupan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si

“……. SEMAKIN besar tekanan keluarga, publik dan lingkungan politik terhadap seorang pejabat maka akan semakin besar probabilitas yang bersangkutan untuk melakukan penyimpangan perilaku ….. “

Para Birokrat (ASN) di Indonesia, tidak ada yang dapat menyaingi karir birokrasi sebagaimana yang pernah dicapai Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang tak tertandingi dan tersaingi. 

Ia meniti karir birokrasi dari Lurah, camat, Kabag, Kepala Biro, hingga jabatan Sekretaris Daerah (Sekda). 

Di jabatan politik, SYL pernah menjadi Bupati 2 (dua) periode dan menjadi Gubernur juga 2 (dua) periode, hingga menjadi Menteri Pertanian.

Prestasi pribadi, prestasi keluarga serta prestasi politik sudah dicapai SYL.  Sangat disayangkan, di saat prestasi puncak dicapai SYL setelah menjadi Menteri Pertanian, Allah memutar balik kehidupan SYL tersangkut kasus korupsi yang sangat memprihatinkan. 

Hal yang sama juga pernah dialami mantan Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliuju, yang juga pernah menjadi Bupati Donggala 2 (dua) periode dan menjadi Gubernur Sulawesi Tengah 2 (dua) periode. Tetapi berakhir masuk bui dengan kasus yang sama yaitu korupsi.

Mengapa orang-orang yang telah hidup mapan dan berkecukupan dan memegang jabatan puncak terlibat korupsi? 

Baca:  Menomor Satukan Keluarga Itu Lebih Mulia dari Kepentingan Negara dan Bangsa

Ada banyak faktor dan variabel dominan yang mempengaruhi prilaku menyimpang seorang pejabat untuk melakukan korupsi. Diantara faktor-faktor itu adalah Keluarga: istri, anak juga orang tua serta keluarga yang lain.

Keluarga yang hedon, materailistik dan suka bersenang-senang akan banyak memberikan pengaruh.

Istri dan anak-anak yang doyan belanja apalagi belanja nya ke luar negeri akan memberikan tekanan kepada pejabat yang menjadi keluarganya.

Sebaliknya keluarga yang mental nya kuat, akan tidak terpengaruh dengan jabatan apapun yang di pegang suaminya, anaknya ataupun orang tuanya. 

Mentalitas dan moralitas  keluarga sangar menentukan seorang pejabat untuk tetap berada di jalan yang lurus dan benar. 

Faktor dominan kedua adalah tekanan publik. Perilaku seorang pejabat sekelas Bupati, Gubernur apalagi Menteri akan sangat dipengaruhi oleh tekanan publik yang memiliki banyak permintaan dan kebutuhan.

Hal ini bila seorang pejabat ingin nama nya populer dan ingin di senangi rakyat, seringkali selalu mengikuti ritme permintaan publik yang sangat kompleks.

Permintaan-permintaan itu seringkali diawali dengan yang ringan-ringan: uang pulsa, traktir, bantuan sunatan, buat lapangan volly dan seterusnya meningkat hingga meminta paket proyek. 

Baca:  Makna Luruskan Shaf dan Rapatan: Sebuah Pembelajaran Kepemimpinan

Yang lebih berbahaya lagi bila seorang pejabat kepancing dengan uang-uang haram & sogokan di awal.

Memang terasa enak dan nyaman, bila seorang pejabat di fasilitasi hotel berbintang, tiket gratis hingga perempuan atau wanita cantik yang disiapkan para vendor. 

Para vendor yang tidak profesional, akan mencari segala macam cara agar mental pejabat dibawah kendalinya. 

Sekalipun gaji dan operasional seorang Gubernur, Bupati atau walikota itu sangat besar dan lebih dari cukup, tetapi ia memiliki keinginan dan kebutuhan yang lebih dari kemampuannya. Maka rayuan manis para vendor akan sangat mempengaruhi perilaku nya untuk menyimpang.

Faktor dominan ketiga lingkungan politik. Partai politik yang banyak memberikan beban keuangan kepada kader-kader nya, akan menjadi embrio bagi para kader nya di birokrasi untuk melakukan kejahatan jabatan.

Hampir merata Partai-partai politik di Indonesia memiliki sumber dana yang terbatas.

Bila hanya berharap dari subsidi Pemerintah, maka manajemen partai tidak dapat berjalan signifikan dan efektif. 

error: Content is protected !!