Hubungan media dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Wartawan membutuhkan para politisi atau pejabat pemerintah sebagai sumber informasi (news maker); para politisi maupun pejabat pemerintah memerlukan media untuk menyampaikan pikiran-pikirannya maupun kebijakan yang mereka ambil untuk kepentingan orang banyak.
Namun hubungan itu sering menimbulkan gesekan dan kurang harmonis. Karena itu ada yang mengatakan hubungan antara keduanya seperti benci tapi rindu (hate and love), sebagaimana dikatakan oleh Senator Filipina Orlando Marcado, yang sekaligus juga seorang penyiar radio, bahwa “It is clear that media need politician, as politician needs media. There are inextricably joined together in a ‘love-hate’ relationship.”
Jelas, bahwa media butuh politisi, seperti juga politisi butuh media, tapi hubungan mereka seringkali benci tapi rindu. Ketika berita yang ditulis wartawan menguntungkan, maka sang politisi akan merindukan wartawan, tapi bila beritanya buruk, sang politisi akan membenci wartawan penulis berita.
Ada fenomena penyimpangan (deviance) yang sering menimbulkan miskomunikasi dan misinformasi, yakni berita yang menyimpang dari norma rata-rata, baik yang menyangkut peristiwa, orang, perilaku, arah perkembangan, dan sebagainya (Shoemaker dkk, dalam Dahlan, 1990).
Pers cenderung menyiarkan berita yang tidak rutin, berita kekacauan, kegagalan, dan sebagainya yang tidak nyaman bagi pejabat, namun disukai oleh pembaca.
Dalam perspektif pers, disebut bad news good news, semakin buruk kejadiannya semakin baik untuk diberitakan.
Sekarang pers yang berbasis media konvensional seperti koran, majalah, televisi dan radio, terdesak oleh media baru (new media) yang berbasis teknologi digital dan internet.
Tak bisa lain media pers dituntut untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman itu. Insan pers dituntut untuk kreatif, inovatif dan kolaboratif.
Kolaborasi dari seluruh kekuatan insan pers akan menghasilkan inovasi guna menghadapi isu-isu penting bangsa, sekaligus memperkuat kualitas jurnalistik Indonesia menegakkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraaan masyarakat.
PWI sarat dengan catatan kebanggaan. Maka ketika insan pers sendiri tidak kokoh sehati, mungkin Napoleon Bonaparte, Thomas Jefferson, Mark Twin, Karl Klaus, akan sedih di alam baka sana.
Kita di sini sebenarnya gundah, masihkah pers bisa diharapkan jadi pilar keempat demokrasi? Dalam sejarah demokrasi dunia, di ujung pena wartawan dalam dunia pers, mengalir tinta emas. Dengan tinta emas itulah harga diri pers ditulis dalam hati.
Kearifan lokal dari Bumi Melayu Riau untuk Pers Indonesia, dalam menghadapi setiap isu perbedaan di tengah kemajemukan, musyawarah dan mufakat adalah kuncinya.
Tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan, tak ada kusut yang tak bisa diungkai. Tertumbuk kata dipikiri, tertumbuk biduk dikelokkan, saling menghormati saling menghargai.
Selamat merayakan Hari Pers Nasional. *
Penulis adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)
Sebelumnya telah terbit di Amira.Riau.com
Discussion about this post