Mengapa setiap perhelatan pilpres dan pilkada, ada sekelompok orang berani mengikhlaskan dirinya masuk penjara bahkan mengorbankan harta dan nyawanya?
Jika kita renungkan, penyebabnya hanya ada satu yaitu mencari seorang pemimpin titik.
Begitu penting dan sangat pentingnya kehadiran seorang pemimpin bagi rakyat nya.
Oleh karena itu, kesalahan besar jika seorang pemimpin yang terpilih lewat pilkada tersebut mengkhianati amanah yang diberikan rakyat.
Amanah yang diberikan itu bukan hanya suara rakyat pada saat pencoblosan. Tetapi keseluruhan proses yang tahapan demi tahapan menggunakan tenaga, pikiran dan anggaran yang tidak kecil.
Para kepala daerah harus merenungkan dan menyadari bagaimana teman-teman di KPU, Bawaslu, TNI-Polri, satpol PP, dan lebih-lebih rakyat yang telah mengorbankan waktu dan tenaga bahkan uang nya untuk mempersiapkan penyambutan calon Bupati / wabup atau calon walikota / wakil walikota saat kampanye.
Belum lagi fenomena keretakan sosial antar pendukung, antar keluarga bahkan keretakan antar saudara kandung akibat perbedaan dukungan politik dalam pilkada.
Filsafat kepemimpinan itu sangat mendalam sebagaimana di contohkan dalam shalat berjemaah.
Bila imam nya kentut, maka etika nya sang imam wajib mundur, dan pengganti imam adalah yang di belakangnya yang mengetahui dan faham betul suasana kebathinan shalat berjemaah itu.
Kentut (buang angin) saja seorang pemimpin wajib mundur apalagi di atas kentut. Tapi fakta yang kita lihat hari ini, sang imam bukan saja kentut, tetapi sudah buang air besar di depan makmum nya dan berbuat kedzaliman dan kemaksiatan di depan mata, tetapi semua makmum tetap amin…amin….dan amin.
Filosopi shalat berjemaah mengandung pelajaran kepemimpinan yang sangat berharga, yang hal ini bukan lah domain penulis untuk menjelaskannya.
Tetapi coba bertanya pada ahlinya yaitu para ustadz, kiyai dan guru-guru agama. Dan mereka akan menjelaskan penting nya seorang imam, dan bagaimana sarat-sarat menjadi seorang imam yang baik. Dan bagaimana kewajiban makmum dalam sholat berjemaah itu.
Filosopi kepemimpinan pun bukan hanya dari shalat saja, tetapi bisa kita pelajari dari matahari, bulan dan penciptaan alam jagad raya ini. Disitu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulil albab).
Salah satu syarat menjadi pemimpin adalah harus ulil albab (pemikir), tidak hanya cerdas secara intelektual (IQ), tetapi butuh kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Ketiga kecerdasan itu harus di atas rata-rata, sebagaimana kecerdasan yang di miliki Umar Bin Khatab, Ali Bin Abu Thalib dan sahabat-sahabat Rasul lainnya.
Sehingga dapat membawa pemerintahan dan negara yang adil dan makmur baldathun thaibatun warabbun gaffur.
Semua kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ditentukan oleh siapa pemimpin nya.
“Setiap masa ada pemimpinnya. Dan setiap pemimpin ada masanya”.
Kalimat dan statement tersebut benar adanya namun filsafat pemerintahan (Ndraha, 2003) mengajarkan kita bahwa pemerintah itu unsur utama nya adalah perintah, memerintahkan, dan di perintahkan.
Dan bukanlah disebut pemerintah jika menyatakan himbauan, menyarankan atau kalimat lainnya, yang faktor utamanya adalah Kepemimpinan (leadership): Presiden, gubernur, Bupati / walikota dan kepala des.
Semua perintah itu akan di laksanakan oleh para manajer (pimpinan) yaitu kepala-kepala dinas, kepala badan, kepala bagian hingga camat dan kepala dusun yang selanjutnya rakyat (yang di perintah) akan mengucapkan samikna wa atakna (kami dengan dan kami patuhi), yang dalam shalat berjamaah, sang pemimpin (imam) mengawali kalimat perintah “luruskan shaf dan rapatkan”. *
Penulis adalah Arsiparis Ahli Madya Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri
Discussion about this post