Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
DALAM beberapa bulan terakhir, Jawa Barat menjadi perbincangan nasional bahkan internasional.
Bukan karena konflik melainkan, karena gaya kepemimpinan unik sang gubernur Dedi Mulyadi.
Dengan gaya blusukannya yang bersahaja, sikap tegas namun membumi, serta narasi narasi yang menyentuh akar persoalan.
Dedi Mulyadi seolah sedang menawarkan pendekatan baru dalam memerangi kemiskinan.
Ia tidak hanya bicara data, tetapi menyentuh ranah budaya dan mentalitas masyarakat.
Dari sini publik mulai menyadari kemiskinan di Indonesia tidak hanya soal struktur, tetapi juga soal kultur sosial.
Selama ini, pembahasan kemiskinan di Indonesia lebih banyak berputar di sekitar faktor-faktor structural: akses pendidikan yang tidak merata, ketimpangan infrastruktur, layanan kesehatan yang terbatas, hingga pasar kerja yang eksploitatif. Semua itu benar adanya.
Namun, sebagaimana dikemukakan sosiolog Oscar Lewis dalam teorinya tentang culture of poverty, kemiskinan juga bisa bertahan karena adanya pola piker dan kebiasaan yang diwariskan antar generasi.
Budaya pasrah, rendahnya etos kerja, sikap konsumtif dan ketergantungan kepada Pemerintah menjadi bagian dari rantai tak kasat mata yang memperkuat jerat kemiskinan.
Sayangnya, pendekatan ini kerap dihindari oleh pemerintah karena beresiko dianggap menyalahkan korban.
Disinilah letak keberanian Dedi Mulyadi. Ia masuk ke wilayah yang tidak nyaman, namun esensial.
Dedi Mulyadi bukan hanya pemimpin birokratik, ia adalah komunikator budaya. Dalam banyak kesempatan, ia langsung menyapa rakyat miskin mengajak mereka berdialog dan seringkali memberi bantuan sambal menyisipkan nasehat tentang pentingnya kerja keras dan harga diri.
Ia menolak memanjakan rakyat dengan bantuan tunai yang pasif. Sebaliknya, ia mendorong rakyat miskin untuk berdikari, membuka warung, memelihara ternak atau bertani kembali.
Beberapa kisah viral memperlihatkan bagaimana ia menegur warga yang sehat namun enggan bekerja, sambil membantu mereka mendapatkan modal usaha.
Dalam satu kunjungan, ia bahkan membongkar rumah tidak layak huni, lalu membangunnya kembali sambil melibatkan warga setempat agar merasa memiliki.
Disinilah muncul semacam “pendidikan budaya” yang melekat bahwa bantuan negara bukan akhir, tetapi awal dari proses pemberdayaan.
Membongkar Pola Pikir Lama
Langkah-langkah Dedi Mulyadi membuka diskusi lebih luas, apakah selama ini kita terlalu fokus pada anggaran dan program, namun lupa pada pentingnya perubahan cara berpikir masyarakat.
Apakah kita memberikan warga miskin terkungkung dalam logika bantuan tanpa memberi jalan menuju kemandirian.
Salah satu kekuatan pendekatan ini adalah keberanian Dedi Mulyadi mengintervensi budaya tanpa menghakimi.
Ia tidak menyalahkan rakyat miskin, tetapi mengajak mereka melihat diri sebagai subyek perubahan.
Pendekatannya juga menghidupkan kembali semangat gotong royong dan martabat kerja.
Dua nilai yang lama terkubur oleh gaya hidup instan dan pola piker konsumtif.
Tentu saja, pendekatan kultural ini bukan tanpa resiko. Ia bisa disalah pahami sebagai bentuk victim blaming jika tidak disertai kebijakan yang tetap melindungi kelompok rentan.
Namun jika digabungkan dengan reformasi structural yang inklusif, pendekatan ini justru menjadi pelengkap penting dalam memutus mata rantai kemiskinan.
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi bukanlah gebrakan kosmetik. Ia mencoba menyentuh akar persoalan, meski dengan resiko disalah pahami.
Kepemimpinan seperti ini menantang kita untuk melihat ulang makna keadilan social, bukan sekedar memberi, tetapi juga membangun kapasitas untuk berdiri sendiri.
Kemiskinan bukan sekadar soal angka atau grafik dalam laporan pemerintah. Ia adalah cermin dari system dan budaya yang tak bekerja sebagaimana mestinya.
Melalui pendekatan yang menggabungkan kerja nyata dan pendidikan budaya, Dedi Mulyadi sedang memberi pelajaran penting bahwa untuk mengatasi kemiskinan, kita harus bekerja pada dua point sekaligus yaitu struktur dan kultur.
Bersambung halaman selanjutnya
Discussion about this post