Oleh: Farhat Abbas
LANGSUNG tersorot publik. Itulah jika pejabat publik bicara. Apalagi jika bicaranya tak sesuai dengan nurani dan norma. Maka, tak ada kata lain, pejabat publik harus hati-hati ketika memyampaikan pernyataannya. Karena itu, ketika Menteri Agama, Yaqut Cholil Qaumas bicara, “Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU, bukan umat Islam pada umumnya, tapi spesifik NU. Jadi, wajar kalua sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kementerian Agama untuk NU”, pernyataan yang terlanjut viral di video ini mengundang atensi publik yang luar biasa. Terjadi reaksi publik yang sangat negatif.
Tak bisa dipungkiri, pernyataan Menag itu sangat menghebohkan. Bukan karena mencerahkan, tapi sarat mengudang persoalan, antar sesama muslim, bahkan antar sesama Nahdliyyin dan antar-umat beragama. Lebih dari itu, pernyatan itu juga terdapat relasi potensial yang cukup jelas pada probabilitas abuse of power (penyalahgunaan kewenangan) yang dilakukan keluarga besar NU pro Yaqut. Sebuah gelagat yang layak menjadi notasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satu hal yang perlu kita garis-bawahi pertama kali, pernyataan Yaqut sangat a historis dalam kontek berdirinya Departemen Agama, yang kini berganti nama Kementerian Agama. Jika kita membuka aspek sejarah, ternyata ada dua tokoh Muhamdiyah (KH. Abu Dardiri dan H. soleh Su`aidy) – yang, pada 25 November 1945 – berhasil meyakinkan sidang BPKNIP tentang urgensi atau pentingnya urusan agama harus ada departemen tesendiri, tidak dicampur dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kita saksikan, sejauh ini kelarga besar Muhamdiyah tak pernah mengklaim atas andil itu. Mereka – dengan bijak – melihatnya sebagai kebutuhan bangsa dan negara.
Fakta historis itu menggambarkan pernyataan Yaqut mengabaikan sejarah instansi yang kini dipimpinnya. Atau, dia – secara sengaja – tidak mau kenal sejarah (peran tokoh non NU). Jika memang itu yang ada di dalam benaknya, maka seorang Yaqut bisa dikategorikan sebagai sosok manusia takabbur. Dia menganggap kecil siapapun yang berada di luar NU. Refleksinya, dia akan selalu meremehkan sikap dan cara pandang para pihak lain.
Baca juga: Neokomunis Indonesia: Fatamargona?
Yang memprihatinkan adalah, pernyataan dan sikap Yaqut selaku Menteri Agama – jika kita buka filsafat emanase – akan diikuti oleh kalangan Nahdiyyin lainnya yang tidak kritis. Lapisan ini – dalam perspektif budaya Jawa – cenderung sendoko dawuh apa yang dinyatakan junjungannya. Ini sungguh berbahaya, karena jumlah umat Nahdliyyin tidaklah kecil. Andai umat Nahdlyyin – minimal dari barisan struktural – terpengaruh, hal ini jelas akan berdampak destruktif bagi stabilitas sosil-politik. Secara tak disadari, pernyataan Yaqut mendorong terbangunnya kekuatan baru yang – secara fisik – siap membenturkan diri terhadap siapapun yang tak sejalan dengan barisan Yaqut.
Jika manuver “Yaqutian” diladeni secara emosional oleh para pihak yang tak sepaham dengan Menteri Agama dan barisannya, jelaslah akan terbuka medan konflik diamteral. Sebuah renungan, siapa yang sesungguhnya yang memancing konflik terbuka itu? Lebih dari itu, siapa juga yang sejatinya intoleran dalam memandang perbedaan kelompok organisasi keagamaan? Ada sauvinisme atau tribisme, yang – secara faktual dan tak sadar – telah diadopsi sebagian kalangan NU dan menjadi garis politik NU.
Kita perlu mencatat, sikap dan tindakan mengecilkan pihak lain pasti akan mengundang reaksi negatif. Dari kalangan non Nahdliyyin sudah tentu tak bisa menerima perlakuan itu. Hal inilah yang mendorong berbagai elemen publik dari berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan menyampaikan kritik pedas. Mereka terpancing untuk sama-sama melihat kembali sejarah masa-masa kemerdekaan.
Discussion about this post