Sementara itu, barisan Yaqut pun tak perlu kebakaran jenggot, karena Yaqut memang – secara sadar atau tidak, dengan dilandasi pengetahuan yang cukup atau parsial – harus mempertanggungjawabkan pernyataannya. Kini, mereka – dari barisan Yaqut – harus belajar bagaimana menghormati proses hukum yang berlaku untuk semua. Bukan hanya untuk non NU atau NU nonstruktural.
Jika barisan Yaqut tetap mengedapankan “otot”, maka ada dua hal yang dapat kita garis-bawahi. Pertama, merasa punya kanuragan, jawara, dogdeng yang memang menjadi program dalam BANSER yang siap “menyepak” kekuatan fisik manapun. Dan ini – lagi-lagi – menggambarkan ketakaburan. Kedua, ketidakpercayaan kepada aparat penegak hukum. Sementara, kita perlu mencatat, kebijakan kepolisian di bawah Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo saat ini lebih dikedepankan prinsip restorative justice untuk hal-hal seperti pencemaran nama baik itu. Arahnya, lebih ke penyelesaian secara kekeluargaan.
Problem Hukum
Ada satu potongan yang layak kita cermati khusus dari video Yaqut yang menghebohkan itu. “Jadi, wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kementerian Agama untuk NU”. Kalimat ini sangat berpotensi memberikan ruang seluas-luasnya untuk menguatkan nepotisme, kolusi dan akhirnya korupsi (NKK). Pernyataan Yaqut tersebut – secara langsung atau tidak – seperti memberikan pintu lebar-lebar untuk seluruh komponen Nahdliyyin dalam melakukan nepotisme, kolusi dan korupsi. Untuk lingkup kantor Kementerian Agama pusat, NKK bukan lagi hal terlarang, tapi memang sudah mendapat “lisensi”.
Dampak kontigion yang bakal menonjol adalah – pertama – terjadi reposisi struktur posisi. Untuk jabatan-jabatan strategis harus diisi orang Nahdliyyin, tanpa mempertimbangkan kapabilitas. Kedua, proses rekrutmen pegawai di lingkungan Kementerian Agama akan lebih terdominasi dari anasir NU. Dalam hal ini, “kartu sakti” yang dimainkan bukan lagi katabelece dari tokoh tertentu, tapi “bendera” organisasi NU dengan segenap onderbownya. Nepotismenya bukan lagi karena ada hubungan kekeluargaan, tapi karena irisan keorganisasian. Nepotisme-kolutif karena kesamaan keorganisasian ini – sekali lagi – akan mengabaikan prinsip profesionalisme, tapi kesetian terhadap organisasi ormas ke-NU-an.
Maka, kita bakal meneropong, ke depan, akan berdatangan dan penguatan Kementerian Agama dalam warna hijau (Nahdliyyin) karena kebijakan nepotisme-kolutis. Yang menjadi masalah mendasar adalah problem kualitas secara institusional. Manakala, prinsip nepotisme-kolutis menjadi garis utama kebijakan, maka kita bakal memotret juga: kementerian ini dibayang-bayangi problem kapasitas kepegawaian secara manajemen.
The last but not least dan inilah yang mengkawatirkan, anggaran trilyunan rupiah yang bersandar pada Kementerian Agama akan menjadi “bancakan” baru bagi keluarga besar NU. Di antara mereka yang lemah iman – setelah menyaksikan anggaran yang fantastik itu – akan berubah sikap dan pendirian keberagamaannya: tidak akan lagi mempertanyakan kualitas harta yang “bersinggahan” di rekeningnya, tapi langsung menyatakan, “Alhamdulillah… Ada reziki tak terduga”. Dalam hal ini proposal atau proyek siluman atau fiktif akan menjadi tren baru pasca pernyataan Yaqut.
Relasi praktik korupsi harus menjadi perhatian baru bagi KPK. Lembaga anti risywah ini harus pasang jaringan di tengah wilayah Kementerian Agama, yang berada di Pusat ataupun daerah-daerah. Badan Pemeriksa Keungan (BPK) juga layak menerjunkan tim “ekspedisinya”. Perkembangan kuantitas kejahatan korupsi – secara teoritik – bisa diprediksi. Kata kuncinya adalah sinyal itu telah dibuka lebar-lebar oleh sang Menteri. Itulah pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholid Qoumas yang menghebohkan. Sarat makna dan implikasi destruktif, bagi umat ataupun negara.
Belajar dari pernyataan Menag, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) perlu menekankan pentingnya pejabat publik harus hati-hati mengeluarkan pernyataan. Bisa menjadi bomerang bagi dirinya, bahkan berdampak lebih jauh bagi bangsa dan negeri ini. *
Jakarta, 30 Oktober 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post