Luwuk Times, Banggai — Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Banggai, Soffian Datu Adam membenarkan sanksi penurunan jabatan dari eselon II ke eselon III terhadap mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Banggai, Marsidin Ribangka. Bahkan, keputusan sanksi itu telah final.
“Sanksi penurunan jabatan itu benar. Keputusan final pejabat pembina kepegawaian adalah menurunkan jabatannya dari eselon II ke eselon III,” ujar Soffian Datu Adam sebagaimana dilansir Okenesia.com.
Kasus itu bermuara dari kata ‘sembarang’ yang dilontarkan Marsidin Ribangka kepada Bupati Banggai, Amirudin saat terjadi percakapan antara Marsidin dengan Sekretaris BPKAD Banggai setahun silam via telepon.
Nahasnya, percakapan via telepon itu di-load speaker hingga terdengar jelas.
Di momen itu, digelar agenda yang mengharuskan Marsidin Ribangka untuk tampil menyampaikan persentasi. Namun, Marsidin berada di luar Kabupaten Banggai dan tak bisa hadir.
Agenda kegiatan tak akan dimulai apabila Marsidin tidak tampil persentasi.
Dari sinilah telepon konfirmasi ke Marsidin berlangsung. Di sinilah kata ‘sembarang’ diucapkan Marsidin, agar agenda dimulai tanpa kehadirannya di tempat.
Petaka ungkapan sembarang menghampiri Marsidin. Di sejumlah media online, Marsidin seolah membela diri tak ingin diklaim bahwa ungkapan sembarang itu, bukanlah kategori pelanggaran disiplin berat.
Bahkan, ia membawa ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk memberikan penilaian terhadap ungkapannya itu.
Ungkapan sembarang ini berlanjut ke pemeriksaan sidang kode etik yang dipimpin Sekkab Banggai, Abdullah Ali sebagai Ketua Komisi Etik.
Marsidin di BAP (berita acara pemeriksaan) pada tanggal 2 Agustus 2022.
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Etik, Marsidin dinilai telah memenuhi unsur pelanggaran berat.
Atas pelanggaran itu, Marsidin dijatuhi sanksi penurunan eselon.
“Kalau tidak puas, silakan lakukan upaya hukum. Kalau dia anggap biasa-biasa (kata sembarang), itu menyerang pimpinan. Menyebut sembarang, itu kalimat tidak wajar,” tekan Soffian Datu Adam.
Di kesempatan yang sama, Soffian juga mengurai tentang disiplin ASN secara umum.
Penekanan Soffian Datu Adam ini mengimbangi pernyataan Marsidin Ribangka bahwa dirinya senantiasa disiplin berkantor.
“Jadi, ada tolok ukur dia disiplin waktu masuk dan pulang kantor, tetapi kinerja tidak ada itu berimplikasi pada tidak tercapainya sasaran kinerja pegawai akan ada aturan yang mengancam penjatuhan hukuman sanksi disiplin,” katanya.
“Jadi, saya tidak mengatakan Marsidin tidak masuk kantor. Kalau kamu bilang tidak masuk kantor, silakan cek di tempat dia bekerja. Secara umum, kita seperti itu,” sambung Soffian.
Jika ada ASN yang tidak masuk kantor 10 hari berturut-turut tanpa keterangan, tidak mengurus izin cuti tahunan atau cuti alasan penting sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang disiplin, maka sudah mengarah pada pemberhentian.
“Aturan itu sifatnya mengikat berlaku bagi seluruh ASN. Bisa mengarah sampai pada pemberhentian. Kalau dia cuma masuk baabsen ok saja, kedisiplinan. Tapi sekarang akan diuji aspek kinerjanya, capaian kinerja, kalau di bawah akan dikenakan sanksi disiplin, karena berkinerja rendah,” ucapnya.
“Tapi, kita kan belum ke arah itu. Jadi, secara umum seorang ASN, misalnya. Masuk kantornya ok, mungkin baabsen dulu baru pulang. Begitu jam pulang datang lagi ba absen, berarti di antara tidak ada kerja. Yang jelas, saat menyusun laporan harian pasti nol. Kalau ini berulang-ulang, tapi ini secara umum bagi ASN, tidak khusus ke Pak Marsidin,” urainya.
Setelah evaluasi sebulan atau dalam setahun persentasenya di bawah 50 persen, maka dia akan berhadapan dengan sanksi disiplin. Sebab, ASN tidak menunjukkan kinerja yang baik.
“Itu secara umum, tapi untuk mengujikan itu tentu ada proses,” demikian Soffian Datu Adam.
Tanggapan Marsidin Ribangka
Sementara itu, Marsidin Ribangka, menyesalkan penilaian Komisi Etik yang menilai perkataannya itu kategori berat.
“Apakah perkataan sembarang itu memenuhi unsur pelanggaran berat,” sesal Marsidin.
Di sidang kode etik, ada dua pasal pelanggaran. Yakni, perjalanan dinas tidak melapor dan perkataan sembarang dianggap sebagai pelanggaran kode etik.
Padahal, dirinya berangkat menggunakan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD).
Percakapan privasi justru dianggap pelanggaran etik. Nah, inilah penyebab, Marsidin keberatan membawanya ke KASN untuk menghindari fitnah.
Hasil LHP Komisi Etik itu belum ditindaklanjuti oleh Bupati Banggai sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah.
Sejatinya sebut Marsidin, jika telah ada LHP Komisi Etik, maka harus ditindaklanjuti bupati dengan mengeluarkan surat keputusan pelanggaran disiplin. Nyatanya, surat keputusan pelanggaran disiplin itu belum pernah diterbitkan.
Karena tidak terbit surat keputusan pelanggaran disiplin itulah, Marsidin membawa masalah itu ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
“Itu juga yang saya bawa ke KASN melapor. Kalau benar (melakukan pelanggaran disiplin), keluarkan SK hukuman disiplin. Sampai sekarang tidak keluar hukuman disiplin itu,” katanya.
Jika surat keputusan hukuman disiplin keluar, maka akan menjadi dasar KASN untuk menilai.
KASN sebut Marsidin, belum mengeluarkan penilaian terhadap materi kesalahannya, karena tidak diterbitkan surat keputusan disiplin.
KASN tutur Marsidin, telah menyurati Bupati Banggai sebagai pejabat pembina kepegawaian untuk segera mengeluarkan SK hukuman disiplin.
“Maunya KASN sudah ada hukuman disiplin dari bupati. Setelah diberikan SK hukuman disiplin itu, KASN memberi pertimbangan penilaian dalam kasus ini,” ungkapnya.
KASN melalui suratnya tertanggal 20 Juli 2023 bernomor B-2629/JP.01/07/2023 perihal rekomendasi penegasan atas laporan hasil pemeriksaan Sdr. Marsidin Ribangka, S.E., M.Si., ditujukan kepada Bupati Banggai. Surat itu ditandatangani Ketua KASN, Agus Pramusinto.
Surat KASN itu menekankan agar Bupati Banggai segera menerbitkan surat keputusan hukuman disiplin yang didasarkan atas LHP Komisi Etik.
Tidak diterbitkannya hukuman disiplin itu dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mengingat, pembebasan sementara yang bersangkutan dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Kepala BPKAD Banggai telah mencapai satu tahun.
Kategori pelanggaran berat itu diberi sanksi, seperti, penurunan pangkat setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan serta pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dari ASN.
Jika menilik jenis pelanggaran dan sanksinya kata Marsidin, maka dirinya telah menjalani sanksi, yakni dirinya di-nonjob-kan dari Kepala BPKAD Banggai sejak Juli 2022.
Sementara, dua sanksi tidak dapat diberikan kepada ASN dalam satu kasus.
“Saya non aktif itu adalah sanksi. Sudah disanksi, turun pangkat lagi itu sanksi kedua,” ucapnya.
Penurunan pangkat satu tingkat lebih rendah yang telah beredar luas tutur Marsidin, bisa disebut tidaklah benar.
Sebab, sampai hari ini dirinya belum pernah menerima keputusan itu. Belakangan diketahui bahwa bukan penurunan pangkat, tapi penurunan eselon dari eselon II ke eselon III.
Lagi pula sebut Marsidin, etikanya, surat penjatuhan hukuman disiplin itu tidak bisa dipublish. Penerima sanksi itu menerima pemberitahuan lalu diserahkan langsung.
Untuk menghindari simpang siur dan menghindari fitnah, maka Marsidin merasa perlu mengajukan masalahnya ke KASN.
“Saya serahkan ke KASN, saya siap menerima apapun hasilnya. Saya sebagai bawahan siap menerima. Saya sampaikan ke KASN, apakah perkataan saya itu layak disebut memenuhi pelanggaran berat. Sudah setahun, tapi saya tidak tahu apa sanksinya. Saya bebas tugas itu adalah sanksi, jangan sampai oleh komisi etik itu adalah bukan sanksi. Sanksinya itu diambil yang terberat,” jelasnya. * Sut
Discussion about this post