Sistem sekuler seolah memutarbalikkan kebenaran. Memaksa untuk menerima atau bahkan memaklumi kemaksiatan seperti kekerasan seksual.
Semua pemakluman itu karena individu, masyarakat bahkan negara tidak menggunakan Islam sebagai standar mereka dalam menilai suatu perbuatan.
Mereka menjadikan standar baik dan buruk menurut kemanfaatan dan kemaslahatan yang mereka dapatkan. Hingga tentang kasus kekerasan seksual ini juga membuat masyarakat berbeda pandangan karena standar mereka berbeda-beda.
Seandainya mereka menggunakan satu standar yaitu hukum syara (Islam), maka pasti mereka akan satu pendapat yaitu bahwa kekerasan seksual itu salah dan pantas di hukum.
Negeri dengan mayoritas Muslim ini makin rusak bukan karena agamanya, tetapi karena makin jauh dari agamanya.
Bahkan, sistem kehidupan yang membelenggu hari ini, yakni kapitalisme sekuler nyata menjauhkan mereka dari agama.
Akidah sekuler yang telah meracuni pemikiran masyarakat membuat mereka berlepas dari aturan syariat-Nya, membuat mereka lupa keterikatan perbuatan di dunia akan dihisab kelak di akhirat.
Pemikiran liberal pun memperparah perilakunya, bebas berperilaku asalkan mampu memuaskan hawa nafsunya tak peduli lagi baik buruk di hadapan Penciptanya, tak peduli halal-haram.
Diperparah kapitalisme yang mampu membuat siapa pun yang minim iman rela melakukan apapun demi memperoleh materi sekalipun melanggar syariat-Nya.
Menurut Ustadzah Dewi Srimurtiningsih, sanksi dalam Islam mampu memberi solusi hakiki, rasa keadilan dan hukuman yang menjerakan terlebih mampu mencegah bibit baru pelaku kekerasan seksual.
Akan tetapi, sebelum menerapkan keadilannya yang mampu menjerakan sekaligus diketahui mampu menebus dosa bagi pelakunya, Islam mewajibkan bagi negara berperan penuh mengurusi setiap urusan rakyatnya, di antaranya:
Pertama, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyat mulai dari pangan, sandang, dan papan, serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi per individu rakyatnya. Di sini negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang mampu berperan penuh menjalankan kebijakannya. Dalam pemenuhan ini akan mencegah rakyat jatuh pada jerat prostitusi. Di banyak kasus kekerasan seksual pada anak awalnya biasanya diiming-imingi dengan uang atau pekerjaan. Juga akan menjauhkan orang-orang yang rela melakukan prostitusi anak hanya karena materi.
Kedua, negara wajib memberi pendidikan yang berdasarkan pada akidah Islam. Kurikulum sekolah membentuk individu-individu yang mampu berpikir islami dan bersikap islami sehingga terbentuk kepribadian Islam pada diri setiap anak. Dari sistem pendidikan Islam akan terwujud generasi Islam, hingga terwujud masyarakat Islam. Dan dalam urusan pendidikan, negara menggratiskan biaya. Yang artinya tidak ada yang tidak bisa sekolah. Semua dijamin negara.
Ketiga, negara wajib menumbuhkan masyarakat yang sadar kewajiban beramar makruf nahi mungkar. Peran masyarakat penting sebagai kontrol di tengah-tengah umat ketika terjadi penyimpangan, menjauhkan mereka menjadi bagian dari pelaku penyimpangan.
Keempat, negara wajib menjadi filter berbagai media dan informasi yang merusak. Mulai dari penghapusan situs-situs porno hingga tontonan-tontonan yang dapat merusak akidah generasi.
Kelima, sanksi tegas. Sanksi yang tegas di dalam Islam diketahui mampu memberi efek jera sekaligus menjadi penebus dosa. Bagi pelaku kekerasan seksual baik pada anak maupun perempuan akan dirajam hingga meninggal apabila pelaku telah menikah. Sedangkan akan ada hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun bagi pelaku yang belum menikah. Sanksi ini akan dipertontonkan di depan umum sebagai pelajaran bagi masyarakat agar tidak ada yang berani melakukan kejahatan serupa.
Sungguh kejahatan kekerasan seksual ini tidak akan mencapai kondisi darurat ketika negara berperan penuh meriayah rakyatnya dengan aturan Penciptanya. Berikut dengan menerapkan sanksi Islam yang pasti memberi keadilan bagi korban dan menjerakan bagi pelaku, serta mencegah munculnya pelaku lainnya. Wallahu’alam. *
Penulis adalah Guru di Sekolah Tahfizh Plus Khoiruh Ummah Luwuk
Discussion about this post