(Renungan Menjelang Penetapan Paslon Pilkada Kabupaten Banggai)
Oleh: Aswan Ali
ALKISAH, pada sekitar tahun 43 SM hiduplah seorang Raja di masa kejayaan Romawi Kuno. Lucius Calpurnius Piso Caesonimus, dialah si raja yang berkuasa dengan “tangan besi” dan “hati harimau”. Suatu ketika sang raja memberikan cuti berlibur kepada 3 (tiga) orang punggawa kerajaan, seiring datangnya tradisi perayaan hari “Lupercalia”, yaitu hari pesta seks, menonton gadis-gadis tanpa busana berjoget ria di jalan-jalan.
Sebelum menjalani masa cutinya, ketiga punggawa kerajaan itu diberi “wanti-wanti” atau peringatan tegas agar tidak menambah waktu liburnya, sehari pun. Maka bersuka citalah ketiganya kebali ke kampung halamannya yang terpaut jarak 2 hari setengah perjalanan kuda dari istana raja. Oleh karena ketiganya tidak tinggal pada satu kampung yang sama, sebelum berpisah mereka membuat perjanjian untuk kembali ke istana pada hari dan jam yang sama, usai menjalani cuti. Dengan maksud agar ketiganya bisa tiba dan masuk ke istana guna melapor kepada raja secara bersama-sama.
Singkat cerita, usai menjalani masa cuti, tibalah waktunya untuk kembali ke istana. Tapi dari tiga punggawa pengawal kerajaan itu, yang muncul ke istana pada hari yang telah ditentuakan, hanya satu orang saja. Sedangkan dua lainnya tidak tampak batang hidungnya. Lucius lalu angkat bicara dan bertanya kepada seorang punggawa yang datang tergopoh-gopoh itu. “Mana temanmu yang dua orang”, tanya Lucius geram. Karena merasa takut dan bingung menjawab, punggawa itu hanya bisa terdiam, mematung diri. Lututnya mulai gemetar. Keningnya berkeringat. Ia tak berani menatap wajah Lucius. Meski berulang kali dibentak dan didesak, tapi ia tak bisa juga membunyikan sepatah pun kata dari mulutnya. Ia tetap bungkam seribu bahasa.
Oleh karena tak menjawab pertanyaan raja, punggawa itu akhirnya didakwa oleh Raja Lucius Calpurnius Piso Caesonimus. “Saudara dinyatakan bersalah membunuh dua punggawa pengawal kerajaan”, begitu dakwaan Lucius. Atas dakwaan itu ia dijatuhi hukuman mati. Maka bersiaplah sang algojo istana mengeksekusi vonis raja tersebut. Tiang gantung dipersiapkan. Jerat tali juga telah terpasang bak kalung dileher sang punggawa malang itu. Dalam hitungan beberapa aba-aba saja tulang leher punggawa itu remuk sudah. Tapi beberapa detik sebelum sang algojo melepas simpul tali pembawa maut itu, tiba-tiba dua punggawa kerajaan yang mangkir itu, muncul di istana. Sang algojo lantas mengurungkan eksekusi, lalu melaporkan kepada Lucius, ikhwal kemunculan dua punggawa tadi.
Lucius kemudian menggelar sidang kedua. Putusan yang dijatuhkan Lucius: Punggawa yang muncul pertama kali tetap dihukum mati. Ia didakwa menyembunyikan dan merahasikan dua temannya yang terlambat datang. Dua puggawa yang terlambat datang itu juga dihukum mati. Keduanya didakwa ingkar dan mangkir dari perintah raja agar datang tepat pada waktunya, usai menjalani masa cuti. Dan sang algojo juga tak luput dari vonis mati sang raja. Ia dihukum atas dakwaan tidak patuh terhadap perintah eksekusi.
Discussion about this post